Inspirasi Homili
Cinta Seorang Gembala
Yoh 10:27-30
Seorang pastor muda pernah memberi pelajaran agama kepada murid-murid kelas VI SD di suatu sekolah dalam wilayah parokinya. Pastor itu berusaha untuk mengenal murid-murid itu dengan namanya masing-masing. Hal itu sungguh sangat menyenangkan anak-anak.
Pada kesempatan lain pastor muda itu mengunjungi lagi sekolah itu dan masuk ke kelas yang sama untuk memberikan pelajaran agama. Selama pelajaran dengan lancar ia menyapa murid-murid itu dengan namanya masing-masing. Pada suatu ketika ia melontarkan suatu pertanyaan agama kepada seorang murid perempuan yang kebetulan ia sudah lupa namanya. Secara tak sadar ia bergumam : “Siapa namanya…!!” Murid perempuan yang sadar bahwa namanya sudah dilupakan tiba-tiba meledak tangisnya dan berlari keluar dari kelas itu. Ia merasa begitu sedih dan terpukul!.
Dikenal oleh orang lain, apabila dikenal dengan namanya sungguh menyenangkan. Mengenal nama adalah tanda perhatian dan terlebih tanda sayang. Melupakan seseorang itu berarti orang itu tidak penting lagi bagi kita. Namanya sudah tercoret atau terhapus dari ingatan dan hati kita. Ia sudah berada di luar wilayah perhatian dan kasih sayang kita.
Pada jaman ini hidup manusia semakin terpisah-pisah, semakin sendiri-sendiri. Orang merasa semakin sepi dalam hidupnya. Pada saat-saat seperti itu orang membutuhkan teman, membutuhkan perhatian orang tuanya. Bawahan membutuhkan perhatian pimpinannya. Rakyat membutuhkan perhatian pemerintahnya. Umat membutuhkan perhatian gembalanya…
****
Dalam Injil hari ini kita mendengar bagaimana Yesus menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang baik. Gembala yang mengenal domba-domba-Nya, bahkan mengenal domba-domba-Nya dengan namanya masing-masing. Ungkapan ini hanya mau mengatakan bahwa Yesus sebagai Gembala sangat mencintai domba-domba-Nya.
Cinta Kristus ini ternyata berpangkal dari hubungan-Nya dengan Bapa-Nya. Cinta Kristus adalah cinta seorang “Gembala”. Ia melukiskan diri-Nya sebagai seorang Gembala yang baik, yang mengenal domba-domba-Nya. Ia menjamin domba-dombanya : “Tak seorang pun dapat merenggut mereka dari tangan-Ku!”; karena Bapa di surga telah menyerahkan mereka kepada-Nya. Persatuan Yesus dengan Bapa-Nya menjamin keselamatan dan keakraban kita dengan Kristus. Kepercayaan kita kepada persatuan Yesus dengan Bapa-Nya membuat kita merasa aman dan selamat. Sebab akhirnya backing kita adalah Allah sendiri. Kepemimpinan Kristus sebagai Gembala yang meresikokan hidup-Nya untuk hidup domba-domba-Nya adalah cermin dari kasih Allah sendiri?!.
***
Seorang dokter yang juga seorang misionaris bernama Eleanor Chesnut pernah bekerja di Tiongkok dan menjadi sangat terkenal karena kebaikan hatinya. Ia banyak menjalankan karya-karya kasih yang sungguh membuat orang terharu dan lama kemudian masih dikenang orang.
Pada suatu hari, seorang yang miskin sekali mengalami luka bakar yang cukup parah, datang ke rumah sakit. Tetapi orang “kecil” itu tidak dapat dibantu, karena tidak ada seorang pun yang telah memberikan kulitnya untuk ditranplatasikan pada badan pasien yang terbakar itu.
Besok paginya perawat-perawat rumah sakit itu terkejut karena mereka melihat bahwa pembedahan kulit itu sudah dilakukan. Ketika mereka melihat dokter Chesnut berjalan pincang, mereka sadar bahwa pimpinan mereka telah memindahkan kulitnya sendiri dengan membedahnya sendiri dan memberikan kulitnya untuk pasien itu…
Kemudian pada waktu pemberontakan “boxer” yang anti orang asing itu meletus, dokter misionaris itu juga ditangkap. Dalam perjalanan menuju penjara, misionaris itu melihat seorang anak Tionghoa yang terputus tangannya, tentu saja sebagai salah satu korban pemberontakan itu. Dokter Chesnut melepaskan diri dari kawanan penjaganya dan berusaha membantu anak yang malang itu. Tetapi dengan itu dokter misionaris itu ditembak mati!
Lima puluh tahun kemudian. Orang-orang Tiongkok disana masih berbicara tentang seorang dokter misionaris asing, yang kasih sayangnya selalu mengingatkan orang akan kasih sayang Kristus. Dokter dan misionaris Chesnut telah bercermin pada perhatian dan kasih sayang Kristus sendiri!!.***Homili Tahun C, terbitan Komkat KWI, 2002.
Dipanggil untuk
Hidup dalam Persekutuan-Nya
Semua panggilan itu bersumber dari Allah. Allahlah yang telah menganugerahkan semua itu sebagai rahmat terindah dalam hidup kita.
Setiap tahun Gereja Katolik merayakan Hari Minggu Panggilan Sedunia, tepatnya jatuh pada Minggu Paskah ke-IV, atau lebih dikenal sebagai pesta “Gembala Baik”. Hari Minggu Panggilan ini merupakan hari khusus bagi kita umat Kristiani yang telah menjawab Panggilan-Nya. Pada hari ini, kita diajak untuk merefleksikan bagaimana hubungan kita dengan Allah. Kita dipanggil untuk memperbarui janji Baptis kita, menyadari jawaban yang pernah kita ucapkan dihadapan-Nya. Karena makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya yakni hidup dalam persekutuan dengan Allah. Maka yang perlu kita dipertanyakan adalah “Apakah saya telah masuk dalam persekutuan cinta kasih Allah?.
Ada dua hal penting yang dapat membantu kita untuk masuk dalam persekutuan cinta kasih-Nya, yaitu;
1. Mengikuti bimbingan Roh Kudus
Dalam mengikuti kehendak Allah, Roh Kudus-lah yang menjadi peran utama sebagai pembimbing, khususnya dalam berkarya. Roh Kudus-lah yang akan membawa kita untuk lebih mengenal kehendak Allah yang benar. Dalam hal ini, dibutuhkan doa dan refleksi, sehingga dalam kehidupan sebagai manusia tidak hanya bersadar pada kehendak sendiri tapi terutama Roh-lah yang akan mengatur dan membimbing kita dalam tugas dan karya kita sehari-hari.
2. Mendengarkan dan Melaksanakan Sabda-Nya
Yesus mengatakan, « Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku » (Yoh 15:4). Kata-kata inilah yang hendaknya menjadi inspirasi hidup bagi setiap orang yang dipanggil untuk mengikuti-Nya. Belajar dari Yesus, berarti kita mau mencontoh cara hidup-Nya, baik itu cara berpikir, bertindak atau berkarya.
Sudah sejak semula manusia diundang untuk tinggal dalam Allah. Sebab manusia diciptakan oleh Allah untuk hidup dalam persekutuan dengan cinta kasih-Nya (GS 19). Dalam dialog dengan Allah, kita akan tumbuh dan berkembang dalam cinta Tuhan. Dialog ini-lah yang memampukan kita untuk dapat “memberi makna” dalam kehidupan personal kita, dan yang akan menghantar kita pada kepenuhan hidup dalam kasih-Nya.
Hari Minggu Panggilan menjadi suatu kesempatan baik untuk mendengarkan suara Yesus yang lembut dan penuh kasih. Yesus mengatakan, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku”. Kita adalah domba-domba-Nya, maka kita harus mendengarkan suara-Nya. Suara-Nya adalah suara kebenaran dan suara keselamatan. Yesus senantiasa berbisik dan mengundang kita untuk setia tinggal dalam kasih-Nya. Yesus rindu agar kita hidup dalam kelimpahan sebagai anak-anak Allah. “Aku datang, supaya engkau hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10b). Kita telah dipanggil dan dipilih-Nya sebagai kawanan domba, dan kita dipanggil untuk setia mendengarkan suara-Nya.
Marilah kita syukuri panggilan hidup kita masing-masing, sesuai dengan pilihan serta komitmen yang telah kita buat untuk tetap setia kepada Yesus yang telah memanggil kita. Ia yang memanggil kita untuk masuk dalam persekutuan cinta-Nya, dan Ia juga yang akan menyempurnakan panggilan kita. Yesus berkata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur” (Yoh 14:4).***Yohana
Santo Yohanes Maria Vianney :
Permenungannya Tentang Imamat
Pembukaan perayaan Tahun Imam bertepatan dengan peringatan 150 tahun kematian Pastor Paroki dari Ars, Perancis, Santo Yohanes Maria Vianney (1786-1859). Nampaknya Paus Benediktus XVI sengaja mengarahkan kesadaran para imam dan seluruh Gereja untuk segera berorientasi pada sosok pribadi Pastor Vianney ini. Dalam menjalankan imamatnya, Vianney memiliki sifat-sifat yang unggul dalam kesabaran, kerendahan hati, sikap tidak ingat diri, ketaatan pada iman Kristiaani, ketekunan mendengarkan pengakuan, cinta-bakti pada Ekaristi dan memberikan diri sepenuhnya bagi pelayanan.
Bagaimanakah pandangan pribadi Pastor Vianney sendiri tentang rahmat tahbisan imamat? Pastor dari Ars ini tidak pernah memberikan suatu definisi tentang (soal apa itu) imamat. Akan tetapi hidupnya sendiri sarat dengan rincian pengalaman yang penuh dengan wacana presentasi akan nilai dan keluhuran dari imamat. Paling sedikit demikianlah yang ada dalam kesadaran pribadinya. Sebutir mutiara warisannya berikut ini menunjukkan hal itu :
“Sakramen Imamat menaikkan manusia hingga sampai Tuhan. Betapa luar biasanya seorang imam! Seseorang yang menduduki tempat Tuhan, diperlengkapi dengan segala kuasa Allah. Seandainya kita tidak memiliki Sakramen Imamat, kita tidak akan memiliki Kristus.
Ketika imam mengampuni dosa, ia tidak mengatakan, “Tuhan mengampuni dosa-dosamu”, tetapi ia mengatakan, “Saya mengampuni dosa-dosamu”. Pergilah mengaku dosa kepada Bunda Maria atau kepada para Malaikat – apakah mereka akan mengampuni dosa-dosamu? Tidak! Apakah mereka akan memberimu Tubuh dan Darah Kristus? Tidak! Mungkin kamu ada bersama 200 Malaikat, tetapi mereka semua tidak dapat mengampuni dosa-dosamu.
Pada saat konsekrasi imam tidak mengatakan, “Inilah Tubuh Kristus”, tetapi ia mengatakan, Inilah Tubuh-Ku” …Oh Tuhan! Betapa Engkau telah mengasihi kami! Lihatlah kuasa yang diberikan kepada seorang imam, dengan perkataannya sekeping roti diubah menjadi Tuhan. Hal ini lebih dahsyat daripada penciptaan dunia!
Betapa bersukacitanya para Rasul saat kebangkitan Kristus, mereka melihat Tuhan yang sangat mereka kasihi! Seorang imam pastilah merasakan sukacita yang sama, saat ia melihat yang ia pegang dengan tangannya … Pengharapan yang tinggi sering diberikan kepada benda-benda yang diletakkan dalam piala minum Santa Perawan dan Kanak-kanak Yesus di Loretto. Tetapi jari-jari imam yang menyentuh Tubuh Yesus Kristus yang kita agungkan, yang menggenggam piala berisi Darah-Nya, yang menunjukkan patena dimana Tubuh-Nya diletakkan – tidakkah jauh lebih berharga?
Jika aku berjumpa dengan seorang imam dan seorang Malaikat, sudah sepatutnya aku memberi salam dahulu kepada seorang imam sebelum aku memberi salam kepada Malaikat. Malaikat adalah sahabat Tuhan, tetapi imam menduduki tempat-Nya…”.
Dari permenenungannya itu, tampak sebagai demikian, cara bagaimana ia menilai dan menghargai imamatnya. Apakah tidak berlebihan – bahwa imamat membuat manusia menduduki tempat Tuhan dan membuatnya lebih mulia dari Malaikat-malaikat? Hal itu bisa mengemanasi aneka macam kemungkinan interpretasi. Mungkin saja. Tetapi sulit untuk diketahui secara pasti. Di sini dapat juga diajukan kerangka komparasi yang langsung berhadapan dengan aneka gagasan teologis Gereja tentang imamat ministerial.
Akan tetapi terlepas dari konteks itu, suatu kemungkinan memerlukan bukti di dalam fakta. Sebaliknya di dalam fakta tidak ada ruang sedikitpun bagi kemungkinan. Dari keluhuran imamat yang dihayatinya sederetan fakta yang terprecentasi adalah demikian : Bahwasanya dia menobatkan seluruh warga parokinya. Bahwasanya ia menjadi bapa pengakuan sekitar 300 orang berdosa dalam sehari. Bahwasanya ia bermatiraga dalam rangka ambil bagian untuk menanggung sendiri banyak penitensi yang harus dilakukan umatnya. Bahwasanya dengan itu pula ia mengalahkan gangguan seranga setan ratusan kali dalam setahun selama kurun waktu 34 tahun. Bahwasanya dalam waktu setahun dia punya kharisma menobatkan 700 pendosa berat. Dalam waktu 20 tahun terakhir ia hanya istirahat 4 jam, karena melayani selama 20 jam penuh dalam sehari. Gereja dan kamar pengakuan dan kaki tabernakel menjadi tempat doa dan sumber kekuatan pelayanannya. Bahwasanya saat melewati 66 tahun batas definitif tentang waktu kodrati manusiawinya, pada 1925, Paus Pius XI memaklumkannya sebagai “Santo” (sekaligus Pelindung Para Ima (paroki) di seruruh dunia). Bahwasanya jenasahnya tetap utuh, tidak hancur hingga kini dan senantiasa menyemburkan bawa semerbak keharuman kuntum-kumtum Ilahi. Itulah factanya.
***
P. Fidelis Sajimin, Pr
Dirdios KKI Keuskupan Agung Pontianak
SERIKAT KEPAUSAN UNTUK PROMOSI PANGGILAN
(SANTO PETRUS RASUL)
Pendiri
Jeanne Bigard (1859 – 1934)
Didirikan di Caen, Prancis pada tahun 1889.
Mendapatkan pengakuan Roma, tanggal 3 Mei 1922 oleh Paus Pius XI menjadi Serikat Kepausan untuk Promosi Panggilan.
Motivasi Pendiri
Keprihatinan akan kekurangan tenaga imam Gereja lokal dan fasilitas pendidikan calon imam.
Semboyan
Panggilan muncul dan benihnya bertumbuh subur hanya memalui doa yang terus menerus.
Pelindung
Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus.
Tujuan
Membantu pendidikan calon Imam dan Hidup Bakti Gereja lokal dalam bentuk doa dan derma.
Hari Minggu Panggilan Sedunia
Minggu Paskah ke-IV atau Hari Minggu Gembala Yang Baik. Doa, Derma, untuk calon Imam dan Hidup Bakti.
Nilai-nilai Misioner
a. Kepedulian terhadap Pengembangan Panggilan Gereja Lokal
Apa yang telah dilakukan oleh Jeanne dan Stephanie Bigard adalah suatu tugas yang mulia karena demi kepentingan Gereja Universal. Mereka sungguh menjadi sarana Tuhan untuk meneruskan karya perutusan-Nya. Bagi Jeanne Bigard, imam mempunyai tugas perutusan yang sangat luhur sebab para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima, diangkat untuk melayani Kristus, Guru, Imam dan Raja. Mereka ikut menunaikan pelayanan-Nya, yang bagi Gereja merupakan upaya untuk tiada hentinya dibangun di dunia ini menjadi umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus (bdk. PO 1). Untuk itu pendidikan calon imam pun sangatlah penting, khususnya dalam pembinaan di seminari, karena para imam adalah pemimpin umat Allah (PO 6). Dan Jeanne Bigard mewujudkan dalam karyanya melalui doa dan derma bagi para calon imam pribumi di tanah misi.
b. Perhatian terhadap keterbatasan dana dan fasilitas pendidikan imam
Stephanie dan Jeanne Bigard menyumbangkan harta mereka dan mereka pun mengajak orang lain untuk memberikan derma bagi pendidikan imam pribumi di seluruh dunia. Allah berkarya, karena keterbukaan hati mereka pada kehendak Allah. Cinta akan Allah dapat diwujudkan dengan mencintai Gereja dan dengan mengembangkan panggilan imam pribumi. Tujuan pengembangan panggilan imam pribumi adalah agar Kabar Gembira Kristus dapat diwartakan khususnya dalam budaya setempat, pelayanan pastoral dapat ditingkatkan, dan saksi-saksi Kristus semakin nyata di dunia ini. Secara perlahan-lahan Kerajaan Allah di dunia ini semakin tampak dan nama Tuhan semakin dimuliakan. “Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakannya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakanNya, jika mereka tidak diutus?,” tulis Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm 10:14-15).
Para imam dipanggil secara khusus untuk meneruskan karya perutusan Kristus di tengah dunia ini. Melalui pewartaan, karya, dan kesaksian mereka, para imam diharapkan menjadi gembala-gembala yang baik bagi jiwa-jiwa yang merindukan keselamatan dari Tuhan.
c. Berdoa mohon panggilan imam dan hidup bakti
Jeanne Bigard tak pernah berhenti berdoa mohon panggilan dan kesalehan imam, biarawan-biarawati di daerah-daerah misi. Panggilan ini akan muncul dan bertumbuh dengan subur apabila dipupuk melalui doa yang terus-menerus. Jeanne mengajak umat beriman untuk berdoa terus-terus kepada tuan yang empunya panenan untuk mengaruniakan bagi Gereja pekerja-pekerja yang bermutu di ladang Tuhan.
Gereja mengundang seluruh umat beriman untuk turut terlibat dan memperhatikan calon-calon imam pribumi. Kerjasama misioner mereka lakukan melalui doa, derma dan dana. Umat beriman ikut ambil bagian dalam kerjasama misioner yang telah dirintis oleh Jeanne Bigard dan ibunya Stephanie. Tugas perutusan misioner dapat dilakukan apabila umat beriman mempunyai kepekaan hati seperti Jeanne Bigard dan menyadari akan pentingnya seorang imam dan biarawan-biarawati. Dengan teladan Stephanie dan Jeanne Bigard maka begitu banyak orang tergerak hati untuk melakukan seperti yang telah mereka lakukan. Maka tepatlah jika Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio menyatakan demikian:
“Di sini kami mau bersyukur kepada semua orang yang melakukan pengorbanan dan menyokong karya di daerah misi. Pengorbanan-pengorbanan mereka dan keterlibatan mereka adalah teramat penting untuk membangun Gereja dan untuk memperlihatkan cinta” (RM 81).
Komitmen kita
Mengikuti teladan Jeanne Bigard dan ibunya Stephanie, hendaklah kita bersyukur atas panggilan imam serta biarawan-biarawati. Kita bersyukur karena Allah telah memanggil dan memilih mereka untuk secara khusus melayani umat-Nya.
Ungkapan syukur kita dapat kita wujudkan dalam berbagai bentuk dukungan terhadap panggilan.
Pertama, kita bisa mendukung panggilan dengan doa, baik doa pribadi maupun doa bersama (kita mengajak orang lain untuk berdoa bagi perkembangan panggilan).
Kedua, kita memberikan derma untuk panggilan, baik yang dilakukan setahun sekali pada Hari Minggu Paskah Ke-4, maupun yang bisa kita lakukan kapan saja berupa sumbangan pribadi kepada seminari-seminari atau rumah-rumah biara.
Ketiga, kita bisa menjadi promotor panggilan di dalam keluarga kita, paroki dan juga dalam lingkup yang lebih luas. Semoga!!.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.