Menurut statistik yang sampai pada PBB sekitar 50% perkawinan orang Indonesia diceraikan. Kesulitan hidup bersama dalam perkawinan juga menimpa orang katolik, meskipun ada faktor-faktor yang dapat mendukung hidup perkawinannya, misalnya: Hidup iman, termasuk peran rahmat ilahi, paham perkawinan monogam yang tak terpu-tuskan (dengan beberapa kekecualian), komunitas yang mendukung, pastoral perkawinan dan keluarga. Meskipun demikian, ada saja sejumlah pasangan yang bercerai. Bagaimana nasib mereka?

1.Perceraian sipil
Perlu ditegaskan (karena ada banyak pendapat lain) bahwa Gereja Katolik tidak mengakui putusan Pengadilan Negeri mengenai berakhirnya perkawinan orang katolik.
Memang putusan perceraian sipil mempunyai akibat-akibat sipil juga yang bukan urusan Gereja. Tetapi ikatan suami-istri di mata Gereja tidak putus oleh putusan Pengadilan Negeri. Maka dari itu kalau orang itu akan menikah lagi secara gerejawi (dengan orang lain) dalam penyelidikan kanonik akan ditanyai apakah ia pernah menikah. Putusan perceraian sipil tidak diakui oleh Gereja, sehingga orang yang telah menikah, cerai sipil, lalu mau menikah lagi secara gerejawi, tidak memenuhi syarat yang perlu, yakni “status liber” (tak terikat oleh perkawinan).

2.Pasangan yang cerai dan hidup dalam perkawinan tak sah

a.Tidak kena ekskomunikasi
Kadang-kadang ada pengiraan bahwa pasangan demikian itu dibuang (kena ekskomunikasi). Pengiraan ini tidak benar.
Gereja bahkan mengajak mereka untuk sebisa-bisanya tetap menghayati hidup menggereja, tidak menjauhkan diri dari komunitasnya yang diajak memperlakukan mereka penuh kasih sayang.

b.Soal komuni
Memang mereka tak dibenarkan menyambut komuni. Ini masalah tersendiri yang terlalu rumit untuk diuraikan di sini sekarang.
Saya hanya mau mengatakan: sebaiknya kita tidak mempersempit persoalannya mengerucut menjadi soal komuni. Hidup menggereja juga jauh lebih kaya, dan bukanlah hanya soal menerima komuni atau tidak. Di banyak negeri di Eropa jarang
orang katolik menerima komuni setiap Minggu, meskipun dari sudut teologis penerimaan komuni termasuk perayaan ekaristi.

3.Jalan keluar untuk orang katolik
Kalau Gereja tidak mengaqkui pemutusan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Negeri, bagaimana nasib orang katolik yang mengalami kesulitan dalam hidup perkawinan? Ada gradasi pemecahan yang harus diketahui suami-istri dan Romo paroki.

a.Pisah ranjang
Banyak kesulitan hidup bersama dapaqt diatasi dengan pisah ranjang: ikatan perkawinan tetap, tapi mereka tak wajib hidup bersama. Dengan demikian misalnya keprihatinan “Jaringan Mitra Perempuan” sehubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga bisa diatasi, meskipun tidak tuntas, melainkan hanya untuk waktu terbatas.

b.Pemutusan ikatan perkawinan
Dalam perkawinan antara orang yang dibaptis (katolik atau protestan) dan orang yang tidak dibaptis, demikian pula dalam perkawinan dua orang dibaptis, tetapi belum terjadi konsumasi (bersetubuh), ada kemungkinan mengajukan permohonan kepada Paus (melalui Keuskupan) agar ikatan perkawinan diputus.

c.Konstatasi dua Tribunal bahwa perkawinan tidak sah
Untuk sahnya perkawinan orang katolik dituntut 3 syarat, yakni:
1) Bebas dari halangan nikah
2) Ada konsensus (kemauan bebas) kedua belah pihak
3) Ada tata peneguhan kanonik (pernyataan dan penerimaan konsensus itu)

Kesulitan biasanya menyangkut konsensus. Bila putusan dua Tribunal, misalnya dari Jakarta dan Bogor sama: “Terbukti secara pasti bahwa perkawinan antara A dan B tidak sah”, maka kedua orang itu bebas untuk menikah (lagi).

4.Beberapa catatan
a.Di Indonesia tidak ada petugas Tribunal purnawaktu. Kebanyakan merangkap, maka proses makan waktu agak lama.
b.Untuk mempercepat proses (mengurangi beban kerja Tribunal) sebaiknya banyak hal diselesaikan pada taraf Paroki.
c.Bila banyak hal bisa dibuktikan dengan dokumen (proses dokumental), maka prosedur lebih cepat selesai.

 Piet Go O.Carm.