MIRIFICA.NEWS, Yogyakarta – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X ikut hadir dan membuka secara kolosal perayaan Asian Youth Day 2017 di Jogja Expo Center (JEC), Rabu (2/8/2017). Bersama Uskup Agung Semarang, Mgr. Rubiyatmoko dan Menteri Agama RI, H. Lukman Syaifullah, AYD 2017 dibuka secara meriah dan disaksikan secara langsung oleh Ketua Federasi Uskup-uskup Se-Asia, Kardinal Patrick D’Rozario, para uskup, para Bupati dan Walikota serta tamu undangan lainnya.
Sebelumnya, Gubernur DIY ke- 5 itu didaulat untuk membawakan sambutannya. Di awal sambutannya yang kidmat itu, Sri Sultan kembali menyitir perkataan bijak Dr. Budiono Kusumhadijoyo tentang keberagaman masyarakat Indonesia sebagai hal yang problematis di dunia. Katanya, masyarakat Indonesia termasuk di antara masyarakat yang pernah melewati lintasan sejarah panjang keberagaman.
Menurut Sri Sultan, perkataan Kusumohadijoyo tersebut memang tidak jarang menampakan penilaian ganda baik yang positip maupun yang negatif. “Yang jelas, perkataan Kusumohadijoyo itu jauh dari sederhana.” Sebab, sesungguhnya perkembangan masyarakat yang kini disebut dengan Indonesia itu telah melewati suatu perjalanan waktu yang begitu panjang bahkan ketika Indonesia masih berada di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan Nusantara.
Meminjam terminologi “multikulturalisme” dalam tema utama Asian Youth Day 2017, Sri Sultan mengatakan kebhinekaan Indonesia saat ini sejatinya lahir dari rahim multikultural sebagai buah dari kondisi sosiokultural serta situasi geografis yang beragam dan luas. Keberagaman sosiokultural dan kondisi geografis itu kemudian digambarkan secara menakjubkan oleh Sri Sultan sebagai berikut:
“Ketika menyaksikan panorama Indonesia saat ini rasanya kita sedang menyusun sinopsis masa lalu tanpa batas seperti ketika kita melihat benda-benda peninggalan bersejarah dalam berbagai lapisan, dalam situs arkeologi yang disejajarkan di atas meja sehingga sekali pandang kita dapat melihat kilasan sejarah manusia Indonesia sepanjang ribuan tahun. Semua warisan kultural sepanjang 3 milenial itu mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari India, China, Timur Tengah, Eropa dan yang kemudian terwakili di tempat-tempat tertentu di Indonesia”.
Karena itu, kata Sri Sultan, orang tak perlu bertanya lagi mengapa di Bali mayoritas warganya Hindu, pemukiman China di Jakarta, Semarang dan Surabaya, kantong-kantong muslim di Aceh dan Makassar atau dataran tinggi Padang, daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis atau daerah Flores dan Timor yang Katolik.
Selain itu, secara tematik,Sri Sultan mengatakan perayaan AYD 2017 sesungguhnya menjadi kesempatan bagi orang muda Asia untuk mereaktualisasi kebhinekaan itu dalam perspektif ketahanan sosial budaya dan menjadikannya landasan gerakan sosial baru dimana orang dari berbagai lintas agama menjadi pioner cinta Tuhan bagi sesama dengan mau belajar, bergaul dan mengalami hidup bersama dengan masyarakat Indonesia yang multiculture guna mengisi dan memperkaya keberagaman Asia.
Menggugat
Kesadaran akan keberagaman seperti itu lantas memantik sebuah gugatan sosial dari Sri Sultan kepada orang muda Katolik. “Bisakah seorang Katolik bertetangga lalu bergaul secara baik dengan orang dari agama dan keyakinan berbeda?”
Sri Sultan melanjutkan, pertanyaan serupa itu juga ditujukkan kepada para pemeluk agama lain. Menurutnya, sembari mencari jawab atas pertanyaan tersebut, setidaknya karena dua alasan yang dapat diketahui. Pertama, saat ini tidak ada satu masyarakat dari negara manapun terdiri dari satu agama, kelompok tertentu, etnis atau asal kelahiran. Kedua, terjadinya tindakan terorisme di beberapa negara termasuk di Indonesia telah menimbulkan praduga dan tuduhan negatif terhadap umat dari agama tertentu.
Sri Sultan mengingatkan bahwa forum Asian Youth Day 2017 memilliki arti penting terutama dalam merajut kehidupan lintas iman guna memberi sebuah harapan baru bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang toleran dan harmonis serta penuh kedamaian dan kasih sayang. “Toleransi dan harmonisasi dimaksud tentu tidak boleh mengorbankan keyakinan dan akidah serta ajaran agama masing-masing.”
Toleransi dan harmonisasi antarpemeluk agama, kata Sri Sultan, mesti dihayati sebagai cara bersikap dan bergaul bahwa setiap agama memerintahkan penganutnya untuk berbuat baik terhadap sesama dari agama lainnya.
Di akhir sambutannya, Sri Sultan menyitir kembali ucapan Robert Weeken bahwa perwujudan toleransi sebagai ungkapan perasaan terlibat, kencenderungan hati, dan sikap batin yang berorientasi pada pikiran hendaknya dikonkritkan dalam hidup bermasyarakat.
“Karena toleransi sifatnya individual, watak sejatinya adalah subjektif dan berada di luar verifikasi ilmiah,” tutupnya.
Kredit Foto: Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika menyampaikan sambutan pada AYD 2017 di JEC/Foto: KOMSOS KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.