BUNYI gamelan mengalun pelan. Saat hari masih pagi. Selasa (1/8/2017), udara di Lereng Merapi begitu dingin menusuk. Sementara, hamparan sawah luas membentang. Petani sibuk bekerja di sawah. Anak-anak desa terlihat menikmati dunia permainan mereka, di pinggir jalanan. Seperti itulah kentalnya nuansa kehidupan agraris warga Lereng Merapi.
Tak jauh dari Sekolah Dasar Kanisius, Sumber, Muntilan, suara gamelan dari Sanggar “Bangun Budaya” semakin kuat terdengar. Semakin penasaran dengan apa yang terjadi di sana, kami pun mempercepat langkah menuju lokasi. Di sanggar inilah, ketika kami tiba sekitar 20-an orang Muda Katolik dari berbagai negara di Asia sedang asyik melatih tarian diiringi irama musik gamelan.
Ternyata sudah beberapa kali mereka telah mengulang ragam tari di bawah sang konduktor gamelan, Untung. Tak ada rasa lelah tergurat di wajah mereka. Bahkan, dengan penuh semangat mereka terus berlatih, mengikuti arahan sang konduktor.
“Wow, this is very beautifull dance,“ teriak Rupon, salah seorang peserta AYD asal Bangladesh.
Selain Rupon, ada juga Solomon dari Nepal, Boby dari Pakistan, Sophia dan Doyoung dari Korea Selatan. Dua nama terakhir ini memang jadi pusat perhatian. Mengingat saat keduanya berlatih mengikuti ragam yang ditunjukkan konduktor, gerakan mereka terlihat masih kaku dan kadang tidak sesuai dengan ragam tari. Doyoung, 21, mahasiswi jurusan Bahasa China pada Hanbat University, misalnya, harus berjibaku mengikuti gerak lincah sang konduktor. Sering ragam yang ia ikuti tak sesuai dengan aslinya, namun ia tak putus asa.
“Saya cinta Indonesia, saya suka gamelan,” katanya saat jedah.
Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang terbatas, Doyoung mengatakan tari dengan diringi musik gamelan itu akan mereka peragakan di lapangan desa Sumber. Bersama dengan beberapa kelompok Orang Muda Katolik lainnya yang saat ini sedang live in di wilayah desa Sumber, Salam, Muntilan, dan Banyutemumpang, mereka akan menggelar malam budaya untuk menghibur warga.
Melampaui Batas
“Seni itu melampaui batas, ia tak mengenal sekat-sekat primordial seperti suku, bahasa, agama dan bangsa, ” ujar Untung, yang telah 5 tahun ikut membesarkan Sanggar “Bangun Budaya di Desa Sumber.
Sesuai dengan namanya, Untung termasuk salah satu pria beruntung. Soalnya, sejak ikut mendirikan Sanggar Bangun Budaya, ia akhirnya bisa berkenalan dengan orang-orang yang datang dari berbagai daerah, suku dan bangsa.
Ia menuturkan, pada tahun 2015 lalu ada sekelompok mahasiswa dari Perancis yang hendak belajar gamelan di Yogyakarta. Waktu mahasiswa Perancis tiba di Yogyakarta, justru sanggar bentukannyalah yang ditunjuk untuk memberikan pelatihan kepada para mahasiswa dari Perancis.
“Sekarang ini datang orang-orang muda Katolik dari berbagai negara di Asia seperti Bangladesh, Pakistan, Nepal dan Korea Selatan, mereka datang untuk belajar dan menghidupi budaya Indonesia, ini suatu berkat bagi Indonesia,” Untung menambahkan.
Kredit Foto: Doyoung dan orang-orang Muda Katolik dari Bangladesh, Pakistan, Nepal, Korea Selatan dan Indonesia sedang berlatih tari dengan irama musik gamelan di Sanggar Bangun Budaya di Desa Sumber, Lereng Merapi.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.