Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Arsip Gereja

Arsip Gereja

1. Teorinya
Fungsi dan nilai arsip tak perlu diragukan, meskipun demikian kiranya baik juga mengingatkan kembali beberapa hal untuk lebih disadari.

a. Menurut akal sehat
Terutama untuk entitas yang diharapkan berlangsung cukup lama arsip merupakan sumber informasi yang amat penting. Kearsipan menyadarkan kita akan kesatuan kita dengan masa lampau dan masa depan., memperluas wawasan kita dan sekaligus menyadarkan kita betapa pesat waktu berlalu, pemeran sejarah silih berganti, orang datang dan pergi.
Nilai yang dijamin fungsi arsip dapat digariskan sebagai berikut:
1) Nilai informasional, yang perlu misalnya untuk pengambilan keputusan
2) Nilai informasional dalam proses menuju penentuan kebijakan yang menyangkut banyak orang dan perlu memperhatikan kesinambungan dan/atau perkembangan.
3) Bahan untuk penulisan sejarah Keuskupan atau Tarekat
4) Penyimpanan dokumen sebagai alat bukti otentik (yang juga berlaku di pengadilan).
5) Nilai-nilai lain.

b. Menurut pandangan Gereja
Kita tak hanya memakai akal sehat, melainkan juga mengacu kepada pernyataan Magisterium yang meneguhkannya juga berdasarkan pengalaman Gereja berabad- abad lamanya kita akui sebagai Pembimbing.
Biasanya Gereja menuangkan pandangannya dalam dokumen-dokumen. Tak perlu di sini disebut semua dokumen secara lengkap (dapat dilihat dalam kepustakaan). Cukuplah di sini disebut beberapa saja:
1) 1983: Kitab Hukum Kanonik
2) 1992: Pendidikan calon imam agar memperhatikan khazanah kultural Gereja
3) 1997: Fungsi Pastoral Arsip Gerejawi
4) 1999 Surat Edaran tentang perlunya inventaris dan katalogisasi khazanah kultural Gereja

2. Prakteknya 
a. Tak termasuk kebutuhan yang dirasakan
Meskipun arsip termasuk kebutuhan sejati (real need) sekurang-kurangnya dalam cakrawala jangka panjang, banyak pihak kurang merasakannya sebagai kebutuhan, (felt need) terutama karena hubungan kausalitas (sebab-musabab dan akibat) adanya dan/atau kelalaian dalam kearsipan tak langsung jelas dan tak langsung dirasakan.

b. Tak termasuk daftar prioritas
Karena kurang dirasakan sebagai kebutuhan, maka arsip juga mudah dianaktirikan, artinya: tidak termasuk prioritas, dinomorduakan. Kekurangan atau kelalaian di bidang kearsipan baru dirasakan, kalau aktual diperlukan, tetapi seringkali kelalaian tak dapat diperbaiki lagi. Terlambat.

c. Akibatnya
1) Kebanyakan tenaga yang menanganinya (lumayan kalau masih ditangani) termasuk orang comotan tanpa pendidikan khusus, dan bahkan merangkap-rangkap.
Komitmen orang comotan atau bahkan bonek (hanya bondo nekat) harus dipuji, dan sekaligus orangnya dikasihani karena sebetulnya ia kurang dibekali untuk tugas itu.
2) Tempat yang disediakan juga seadanya saja, terlalu kecil dan kurang memenuhi syarat (suhu, kelembaban, pengamanan terhadap aneka faktor perusak lain).
3) Peralatan seadanya saja, bahkan seringkali hanya “menumpang”, misalnya pada sekretariat.
4) Dana yang disediakan juga hanya nunut (misalnya menumpang pada kesekretaria-tan), tidak ada dana khusus, tidak diperhitungkan, tidak masuk dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja, sedangkan kearsipan profesional memang menuntut banyak biaya.

3. Kurang profesional
Dengan singkat: kebanyakan arsip Gereja (Keuskupan dan Tarekat) tidak profesional atau di bawah standard. Hal ini sudah mulai dengan apa yang disebut “Arsip Dinamis” yang di Sekretariat juga diperlakukan kurang sesuai dengan tuntutan kearsipan profe- sional, misalnya pemberkasan dengan memakai klip metal yang segera berkarat dan merusak arsip, pembuatan perforasi untuk dimasukkan ke dalam ordner, belum lagi penggunaan kertas serta tinta yang tak baik (mengandung zat asam) untuk arsip yang disimpan di tempat yang tak memenuhi syarat.
Arsiparis hanya menerima apa yang sudah dibuat oleh pihak lain, biasanya di sekre- tariat, maka di Indonesia dokumen-dokumen di Sekretariat sudah dihitung sebagai arsip (disebut “arsip dinamis”) , maka juga diperlukan profesionalisasi kesekretariatan.

4. Lokakarya Kearsipan sebagai suatu upaya
Keadaan yang menyedihkan itu tak dapat segera diperbaiki secara tuntas. Salah satu upaya ialah mengadakan Lokakarya Kearsipan Gereja dengan maksud:
a. Mempertemukan semua (juga calon) yang mengurus arsip Keuskupan dan/atau Tarekat untuk mendapat masukan dari pakar kearsipan dan sejarah Gereja.
b. Memberi peluang untuk tukar pikiran dan pengalaman dengan rekan-rekannya yang berjuang sendiri-sendiri di tempat masing-masing.
c. Menyusun pegangan kearsipan gerejawi, baik sebagai sosialisasi maupun sebagai acuan untuk Keuskupan dan/atau Tarekat, dengan segala kerendahan-hati dan kesadaran akan keterbatasan diri dan perlunya penyempurnaan di masa mendatang.

5. Menuju penanganan Arsip Gereja yang lebih profesional
Kita tetap realistis tanpa melupakan cita-cita. Sudah ada banyak upaya. Kita tidak melihat hitam-putih, melainkan tetap bersikap proporsional menghargai apa yang sudah ada, meskipun tidak sempurna.
Tetapi kita tidak berpuas diri dengan status quo, melainkan berusaha untuk maju, tak hanya dalam hal yang dirasakan atau dianggap penting dan karenanya menuntut diper- lakukan sebagai hal yang harus diprioritaskan, melainkan juga hal-hal lain yang meski- pun (atau justru) kurang dirasakan sebagai kebutuhan mendesak, tetap harus diper- juangkan sebagai cita-cita untuk diwujudkan, biarpun hanya berangsur-angsur.
Kearsipan yang kurang disadari sebagai kebutuhan real, yang dirasakan sehingga cen- derung dianaktirikan, harus langkah demi langkah diusahakan makin mendekati standar profesional, tak hanya teoretis dengan maksud baik dan janji-janji yang diulang-ulang, melainkan juga dengan langkah-langkah konkret yang meyakinkan.
Harus diusahakan adanya:
a. Sumber daya manusia: mempersiapkan orang dengan studi khusus
b. Tempat yang memenuhi syarat dan dapat diperluas karena bahan arsip tidak akan berkurang, melainkan justru bertambah.
c. Peralatan yang memadai dan penggunaan peralatan yang makin canggih karena mengikuti perkembangan zaman.
d. Dana yang diperlukan untuk memelihara arsip.

6. ”Arsip Statis” 
Sehubungan dengan pemahaman arsip menurut Undang-undang R.I. Nomor 7 Tahun 1971 Pasal 2 yang mengadakan pembedaan antara arsip dinamis dan arsip statis hendaknya diperhatikan bahwa buku pengangan ini pertama-tama menyangkut arsip statis meskipun kondisinya ikut ditentukan oleh arsip dinamis.

7. Penggunaan komputer
Kebanyakan masih terpusat pada Arsip Konvensional, tetapi terbuka bagi perkem- bangan teknologi masa mendatang, misalnya komputerisasi. Tetapi juga dalam perkembangan itu dokumen yang otentik masih tetap diperlukan, misalnya sebagai alat bukti.
Semua itu memang menuntut pengurbanan dari pihak Keuskupan dan Tarekat, tetapi pengurbanan dan jerih-payah itu perlu untuk kinerja yang lebih profesional, dan tak hanya sekarang mendukung kehidupan menggereja, melainkan terutama juga di masa depan akan memberi informasi yang tepat mengenai sejarah kehidupan menggereja yang juga meliputi kesadaran iman zaman tertentu, zaman kita.
Namun perlunya “ongoing formation” itu konkret juga menyangkut mereka yang melakukan fungsi sekretaris dan arsiparis Keuskupan dan unit-unitnya, Tarekat dan unit-unitnya yang diharapkan belajar sendiri dengan menimba informasi dari tulisan- tulisan yang teredia dalam buku-buku dan internet, dengan mengikuti aneka pertemuan (seminar, lokakarya, kursus dsb., dengan studi banding serta kerja sama dengan pihak- pihak lain yang mempunyai fungsi serupa.

(PG)