Beranda OPINI Editorial Aristoteles dan Aborsi

Aristoteles dan Aborsi

Perdebatan soal aborsi bukanlah barang baru, meski dari segi medis, sudah lama para dokter dilarang melakukan aborsi karena melanggar sumpah hipokratiknya sebagai dokter.

Dulu, yang menjadi bahan perdebatan adalah ensoulment, masuknya jiwa ke dalam janin. Ada yang berpendapat, jiwa masuk ke dalam janin bersamaan dengan pembuahan. Yang lain berpendapat beberapa hari sesudahnya. Karena jiwa adalah unsur penggerak janin, maka gerakan janin menjadi tanda masuknya jiwa ke dalam badan janin.

Aristoteles dalam buku History of Animal menerangkan, jiwa masuk badan janin laki-laki pada hari ke-40, dan 90 hari untuk janin perempuan. Orang lain ada yang mengatakan pada umur 14, 30, 90 hari, bahkan 120 hari. Pendapat Aristoteles ini memengaruhi banyak filsuf, agamawan, dan orang umum hingga kini.

Embriologi Aristotelian

Pendapat Aristoteles ini berdasarkan pada embriologi saat itu. Dalam buku Generation of Animals, Aristoteles menerangkan, faktor-faktor keturunan manusia diturunkan dari generasi ke generasi lain melalui semen. Yang mempunyai semen hanya lelaki, sedangkan perempuan punya darah menstruasi yang merupakan materi yang akan dihidupkan oleh semen.

Semen tumbuh dalam rahim. Pertama-tama dalam fase vegetatif yang mempunyai nutritive soul, lalu menuju tahap sensitive soul, tahap binatang, menyusul rational soul yang menjadikannya manusia. Semua tahap perkembangan itu perlu waktu.

Menurut Aristoteles, badan janin itu berasal dari ibu, sedangkan jiwa dari bapak. Mengingat jiwa lebih tinggi daripada badan, maka dalam perhitungan generasi, yang dihitung hanya garis keturunan bapak, bukan ibu.

Pendapat Aristoteles ini berdampak amat besar dalam keputusan moral soal aborsi. Banyak tokoh masyarakat dan agamawan berpendapat, aborsi yang dilakukan sebelum berumur 40 hari tidaklah berdosa, sebab waktu itu janin belum mempunyai jiwa. Aborsi hanya dilarang atau berdosa jika dilakukan setelah janin berumur 40 hari.

Embriologi modern

Embriologi modern menentang embriologi Aristotelian. Embriologi modern dengan kepastian tinggi menolak pendapat, hanya ayah yang punya andil bagi anaknya. Ayah-ibu masing-masing menyumbangkan separuh dari keseluruhan faktor genetis anaknya, yakni 23 kromosom yang dibawa ovum dan sperma.

Penahapan perkembangan embrio Aristotelian juga ditolak. Dalam penahapan ini terjadi lompatan kualitas amat besar, yakni apa yang semula tidak ada, tiba-tiba ada. Misalnya, pada hari ke-40 terjadi lompatan revolusioner karena tiba-tiba jiwa masuk ke dalam badan. Embriologi modern menolak keras penahapan dan lompatan kualitas ini sebab perkembangan embrio terjadi secara kontinu tanpa penahapan dan tidak terjadi lompatan kualitas.

Menurut Komisi Warnock bentukan Pemerintah Inggris (1982), sekali proses (pembuahan) dimulai, tidak ada bagian khusus dari proses perkembangan itu yang lebih penting dari yang lainnya; semuanya adalah bagian dari sebuah proses yang berlangsung terus-menerus.

Kesaksian lain dari Lee M Silver, profesor di Princeton University. Dalam buku Remaking Eden: Cloning and Beyond in a Brave New World (1998) dikatakan, ketika fertilisasi sudah selesai, tidak ada lagi waktu yang terisolir dalam seluruh proses itu di mana Anda dapat mengatakan, embrio ini atau fetus ini berbeda secara substansial dari embrio ini beberapa menit lalu atau bahkan beberapa jam lalu.

Kesinambungan ini berarti, embrio yang berumur satu hari bukanlah subjek lain dibanding embrio yang berumur 40 hari atau lebih. Hal yang sama juga terjadi pada manusia sesudah lahir. Meski terjadi banyak perkembangan, manusia yang berumur 10 tahun bukan orang lain (subjek lain) dibanding saat dia berumur 50 tahun. Ia masih tetap subyek yang sama.

Kapan embrio mulai hidup

Aristoteles berpendapat, hidup manusia dimulai saat masuknya jiwa ke badan. Pemikiran ini ditentang keras embriologi modern yang menekankan, hidup manusia langsung dimulai seusai proses pembuahan.

Pembuahan adalah proses fusi antara sperma dan ovum, masing-masing membawa 23 kromosom. Fertilisasi itu selesai saat dua inti sel ovum dan sperma menyatu dan membentuk manusia baru yang mempunyai genom baru berjumlah 46 kromosom. Genom itu unik (satu-satunya) dan baru (belum pernah ada genom manusia seperti itu).

Dengan terbentuknya genom baru dan unik, siklus hidup manusia dimulai. Leon R Kass, profesor dari University of Chicago sekaligus Chairman of the President Councill on Bioethics, Amerika, mengatakan, ”Pertama-tama, zigot dan tahap-tahap awal embrio benar-benar hidup… Semua biologis yang jujur akan terkesan fakta-fakta ini dan harus mengakui… pandangan bahwa manusia itu mulai pada saat pembuahan.(Kass, 2002, hal. 87)

Bahkan secara genetis segala sesuatunya sudah ditentukan saat pembuahan. Helen Pearson dalam Journal Nature 418 (2002) mengatakan, Duniamu terbentuk pada 24 jam pertama sesudah pembuahan. Saat kepala dan kaki akan tumbuh, bagian mana akan menjadi punggung dan perut, sudah ditentukan dalam menit dan jam sesudah sperma dan ovum bersatu. Lima tahun lalu, pernyataan ini akan dipandang sebagai sebuah heresi.

Fakta-fakta baru embriologi modern seharusnya mengubah pandangan mengenai aborsi. Mungkin selama ini ada yang menyetujui aborsi karena percaya, hidup manusia baru dimulai pada 14 hari, atau 40 hari, atau 120 hari. Dasar ilmiah pendapat ini amat lemah karena tidak didukung data ilmiah embriologi modern.

Embriologi modern melihat jelas, manusia hidup sejak proses pembuahan usai, karena itu mempunyai hak asasi yang bersifat intrinsik untuk dilindungi hidupnya. Hak untuk hidup adalah hak paling dasar, mendasari semua hak asasi lainnya. Tanpa hidup, manusia tidak ada dan tidak mempunyai hak asasi. Perlindungan terhadap hidup harus dikenakan pada semua manusia yang hidup. Karena itu, aborsi dalam tahap apa pun dan dalam umur berapa pun menjadi salah satu sebab janin itu adalah manusia yang hidup yang hidupnya harus mendapat perlindungan.

CB Kusmaryanto SCJ, Doktor Bioetika Universitas Gregoriana, Roma; Dosen Bioetika di Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta