MIRIFICA.NET – Pertanyaan ini berasal dari seorang rekan imam, pastor rekan di sebuah paroki di wilayah ibu kota. Ia mengaku bingung bagaimana memberikan jawaban yang tepat dari perspektif hukum Gereja jika ada umat yang mempertanyakan hal ini. Bagi kami yang menjalankan cura pastoralis di wilayah udik yang jauh dari gemuruh metropolis, pertanyaan seperti ini barangkali tidak akan pernah muncul di tengah umat, tapi bagi rekan imam yang berkarya di kota besar dengan aneka persoalan pastoral yang kompleks, pertanyaan seperti dapat saja muncul dan membikin gerah.
Jawaban yang kami berikan di sini sangat terbatas. Tetap dibutuhkan kesiagaan kritis masing-masing pembaca untuk “mengunyah” jawaban ini dengan baik dalam terang ajaran Gereja. Apa yang menjadi alasan seseorang melakukan operasi kelamin – apakah karena keber-ada-an alat kelamin yang menyebabkan ia mengalami disforia gender, yakni merasa bingung atau tidak nyaman dengan kelaminnya atau merasa terjebak dalam tubuh yang salah, dan karena itu operasi kelamin dipandang sebagai sebuah medical correction dari sebuah formasi fisik yang salah yang memungkinkan seseorang untuk menjadi dirinya yang autentik – , tidak menjadi fokus perhatian kami dalam tulisan kecil ini. Perhatikan kami lebih diarahkan pada implikasi yuridis operasi kelamin terhadap perkawinan, sekaligus (mudah-mudahan) menjawabi pertanyaan rekan imam di atas.
Operasi Kelamin
Secara sederhana operasi kelamin dapat dipahami sebagai sebuah intervensi medis eksternal untuk mengubah atau menggantikan alat genital seseorang agar menjadi lebih sama dengan kelamin lawan jenis. Pada operasi perubahan alat genital pria menjadi wanita, alat kelamin pria hampir seluruhnya dibuang; hanya beberapa jaringan tertentu saja yang dipertahankan untuk membentuk vagina buatan. Sebaliknya, pada operasi genital wanita menjadi pria, prosesnya meliputi operasi histerektomi penuh dan pencangkokan kulit untuk membuat bagian yang menyerupai alat kelamin pria .
Penting untuk diingat bahwa operasi kelamin membawa efek biologis tertentu bagi pria maupun wanita, yakni bahwa keduanya menjadi steril. Hal ini dapat dimengerti karena “organ kelamin baru” hasil operasi tersebut tidak memiliki fungsi reproduktif.
Pandangan Gereja
Jika membolak-balik Katekismus Gereja Katolik, kita tidak menemukan rumusan yang secara langsung berbicara tentang operasi kelamin. Namun demikian persoalan ini ditanggapi dari perspektif moral katolik dengan merujuk pada artikel yang ada dalam dokumen tersebut yang menyatakan bahwa kecuali jika dilakukan untuk alasan medis terapeutik yang ketat, amputasi, mutilasi, dan sterilisasi yang dilakukan secara langsung terhadap orang yang tidak bersalah adalah bertentangan dengan hukum moral (KGK 2297). Alasan terapeutik ini dapat mencakup amputasi jaringan yang rusak seperti anggota badan yang gangren atau bahkan jaringan yang sehat jika hal itu dibutuhkan oleh tubuh secara keseluruhan.
Dalam hubungan dengan alasan terapeutik ini, Paus Pius XII menyatakan bahwa berdasarkan prinsip totalitas (the principle of totality) – di mana “bagian” ada demi “keseluruhan” dan sebagai konsekuensinya kebaikan bagian berada di bawah kebaikan keseluruhan – seseorang dapat membiarkan beberapa bagian tubuhnya dihancurkan atau dimutilasi jika dan sejauh diperlukan demi kebaikan tubuh secara keseluruhan (bdk. Pius XII, Discorso ai membri del I Congresso Internazionale di istopatologia del sistema nervosa, AAS 44 (1952), hlm. 787).
Pertanyaannya adalah apakah prinsip totalitas ini dapat diaplikasikan pada operasi yang bertujuan untuk menggantikan jenis kelamin seseorang? Sebagian memberikan jawaban positif. Namun jika kita mencermati berbagai penegasan Gereja universal, tampak jelas bahwa prinsip totalitas ini tidak dapat diterapkan untuk kasus operasi kelamin. Apalagi Paus Pius XII sendiri mengatakan bahwa bahwa seseorang bukanlah pemilik absolut atas dirinya, atas tubuh dan jiwanya. Atas dasar itu maka ia tidak dapat dengan bebas melakukan apa saja atas tubuhnya seturut kehendak hatinya (bdk. Pius XII, Discorso ai membri del I Congresso Internazionale di istopatologia del sistema nervosa, hlm. 782). Tubuh manusia tidak dapat dianggap hanya sebagai kompleks jaringan, organ dan fungsi. Ia merupakan bagian konstitutif dengannya seseorang memanifestasikan dan mengekspresikan dirinya melalui itu (bdk. Congregazione per la Dottrina della Fede, Istr. Dignitas personae, n. 5, AAS 100 (2008), hlm. 861-862).
Dengan penegasan seperti ini, Gereja hendak menyatakan bahwa setiap orang, pria dan wanita, harus mengakui dan menerima seksualitasnya (KGK, 2333). Ketika Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Ia memberi kepada mereka martabat pribadi yang sama. Pria dan wanita harus memperhatikan dan menerima seksualitasnya (KGK, 2393). Penentuan jenis kelamin adalah seseorang adalah hak prerogratif Tuhan.
Penegasan Gereja secara eksplisit menyangkut operasi kelamin muncul pada tahun 2003. Setelah melakukan studi yang intensif, Kongregasi Doktrin Iman dalam dokumen sub secretum yang tidak dipublikasikan, menyatakan bahwa operasi kelamin adalah sesuatu yang superfisial dan bersifat eksternal yang tidak dapat mengubah kepribadiaan seseorang. Jika seseorang dari lahirnya adalah pria , maka ia akan tetap demikian adanya; jika ia wanita, maka ia tetap wanita.
Apa yang ditegaskan di atas ini hemat kami berhubungan erat dengan konsep teologis tentang penciptaan pria dan wanita. Dalam konsep kristiani tentang penciptaan, manusia selalu berjenis kelamin pria dan wanita dan perbedaan seksual berasal dari hakekat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Atas dasar itu maka orang yang mengganti jenis kelaminnya tidak dapat diakui sebagai identitas lain selain yang telah tertanam dalam struktur metafisik original. Intervensi medis melalui operasi kelamin tidak mengubah struktur genetik dan kromosomik seorang individu.
Implikasi Yuridis
Merujuk pada pandangan Gereja di atas maka menjadi jelas bahwa orang yang melakukan operasi kelamin tidak dapat menikah secara sah. Ada berapa alasan mendasar, jika kita menghubungkannya dengan hakekat perkawinan katolik, yakni:
Pertama, perkawinan katolik mengenal prinsip dualitas seksual, artinya antara seorang pria dan seorang wanita (bdk. KHK, kan. 1055, §1). Operasi kelamin tidak mengubah struktur genetik seseorang. Memperbolehkan seseorang yang telah melakukan operasi kelamin untuk menikah, sama artinya memperoleh dua orang yang berkelamin sama untuk menikah. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip perkawinan Gereja.
Kedua, perkawinan katolik membentuk persekutuan seumur hidup (consortium totius vitae) dan menurut kodratnya terarah kepada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum). Secara kodrati, hal ini hanya mungkin tercapai antara seorang pria dan seorang wanita. Pria yang dari sono-nya seorang pria; demikian pun sebalinya.
Ketiga, perkawinan katolik mengenal prinsip prokreatif, artinya terbuka terhadap kelahiran anak melalui tindakan persetubuhan (actus conjugalis). Operasi kelamin mengakibatkan seseorang menjadi steril karena intervensi eksternal. Sterilitas dalam konteks ini menutup kemungkinan untuk mendapatkan anak.
Penutup
Dengan mengatakan bahwa mereka yang melakukan operasi kelamin tidak dapat menikah secara sah, tidak berarti mengabaikan mereka dalam pelayanan pastoral. Para gembala jiwa harus tetap memberikan perhatian yang wajar dan manusiawi mengingat mereka adalah juga anak-anak Allah, sesama yang harus diterima apa adanya.
Apa persisnya bentuk perhatian tersebut, tentu disesuaikan dengan situasi dan keadaan konkrit. Namun yang pasti bahwa memberikan mereka harapan (palsu) bahwa mereka dapat menikah secara sah adalah sesuatu yang tidak benar karena, selain merugikan secara spiritual, juga bertentangan prinsip doktrinal Gereja.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.