Beranda OPINI Apakah Orang Yang Telah Melakukan Operasi Kelamin Dapat Menikah Secara Sah?

Apakah Orang Yang Telah Melakukan Operasi Kelamin Dapat Menikah Secara Sah?

katekese katolik Kitab Suci Komsos KWI Konferensi Waligereja Indonesia KWI Lawan Covid-19
Ilustrasi

MIRIFICA.NET – Pertanyaan  ini  berasal  dari   seorang  rekan  imam, pastor rekan  di  sebuah  paroki di wilayah  ibu kota.  Ia  mengaku  bingung  bagaimana  memberikan  jawaban yang  tepat  dari perspektif  hukum  Gereja   jika  ada umat yang mempertanyakan hal ini. Bagi kami yang menjalankan  cura pastoralis  di wilayah udik yang jauh  dari  gemuruh metropolis, pertanyaan  seperti ini barangkali tidak  akan pernah  muncul di tengah umat,  tapi  bagi  rekan imam  yang berkarya di kota besar  dengan aneka persoalan pastoral yang kompleks, pertanyaan seperti dapat  saja  muncul dan   membikin gerah.

Jawaban yang kami berikan di sini  sangat terbatas. Tetap dibutuhkan kesiagaan kritis  masing-masing  pembaca  untuk  “mengunyah” jawaban ini dengan baik dalam terang ajaran  Gereja.  Apa yang menjadi  alasan  seseorang  melakukan  operasi kelamin – apakah  karena keber-ada-an  alat kelamin  yang  menyebabkan  ia   mengalami  disforia gender, yakni merasa bingung  atau tidak nyaman  dengan  kelaminnya  atau merasa  terjebak dalam tubuh yang salah, dan  karena itu  operasi  kelamin  dipandang  sebagai  sebuah  medical correction  dari  sebuah formasi fisik yang salah  yang memungkinkan seseorang untuk menjadi dirinya yang autentik – , tidak menjadi  fokus perhatian kami  dalam  tulisan kecil ini.  Perhatikan kami lebih  diarahkan  pada  implikasi  yuridis  operasi kelamin  terhadap  perkawinan, sekaligus (mudah-mudahan) menjawabi  pertanyaan  rekan imam  di atas.

Operasi  Kelamin

Secara  sederhana  operasi  kelamin  dapat dipahami sebagai  sebuah  intervensi medis  eksternal untuk mengubah  atau menggantikan  alat  genital seseorang agar menjadi  lebih  sama  dengan  kelamin  lawan jenis. Pada  operasi perubahan  alat genital pria menjadi wanita, alat kelamin pria  hampir seluruhnya dibuang; hanya beberapa jaringan tertentu saja yang dipertahankan  untuk membentuk vagina buatan. Sebaliknya, pada operasi  genital wanita  menjadi pria,  prosesnya  meliputi  operasi  histerektomi  penuh  dan  pencangkokan kulit  untuk membuat  bagian  yang  menyerupai  alat  kelamin  pria .

Penting untuk diingat  bahwa  operasi   kelamin  membawa  efek  biologis  tertentu bagi pria maupun wanita, yakni bahwa  keduanya  menjadi  steril. Hal ini dapat  dimengerti  karena  “organ kelamin  baru”  hasil operasi  tersebut   tidak  memiliki  fungsi  reproduktif.

Pandangan  Gereja

Jika  membolak-balik   Katekismus  Gereja  Katolik, kita tidak  menemukan  rumusan yang  secara  langsung  berbicara  tentang operasi kelamin. Namun  demikian  persoalan ini  ditanggapi dari perspektif  moral katolik  dengan  merujuk pada artikel  yang ada dalam dokumen tersebut yang menyatakan bahwa kecuali jika dilakukan untuk alasan medis terapeutik yang ketat, amputasi, mutilasi, dan sterilisasi yang dilakukan secara langsung terhadap orang yang tidak bersalah  adalah  bertentangan dengan hukum moral (KGK 2297). Alasan terapeutik ini dapat mencakup amputasi jaringan yang rusak seperti anggota badan yang gangren atau bahkan jaringan yang sehat jika hal itu dibutuhkan oleh  tubuh  secara keseluruhan.

Dalam hubungan dengan alasan terapeutik  ini, Paus Pius XII  menyatakan  bahwa  berdasarkan  prinsip  totalitas  (the principle of totality) – di mana  “bagian” ada  demi “keseluruhan”  dan  sebagai konsekuensinya kebaikan  bagian  berada di bawah kebaikan keseluruhan – seseorang  dapat  membiarkan  beberapa  bagian  tubuhnya  dihancurkan atau  dimutilasi jika  dan sejauh  diperlukan  demi  kebaikan tubuh  secara keseluruhan (bdk. Pius XII, Discorso ai membri del I Congresso Internazionale di istopatologia del sistema nervosa, AAS 44 (1952), hlm. 787).

Pertanyaannya  adalah apakah prinsip totalitas ini dapat diaplikasikan pada operasi yang bertujuan untuk menggantikan jenis kelamin seseorang? Sebagian  memberikan  jawaban positif. Namun  jika  kita mencermati berbagai penegasan Gereja universal, tampak jelas bahwa prinsip totalitas  ini  tidak  dapat diterapkan untuk kasus operasi kelamin. Apalagi Paus Pius XII  sendiri mengatakan bahwa  bahwa  seseorang bukanlah pemilik absolut atas dirinya, atas tubuh dan jiwanya. Atas dasar itu maka ia tidak dapat dengan bebas  melakukan  apa  saja  atas tubuhnya   seturut  kehendak hatinya (bdk. Pius XII, Discorso ai membri del I Congresso Internazionale di istopatologia del sistema nervosa, hlm. 782). Tubuh  manusia  tidak dapat dianggap hanya sebagai kompleks jaringan, organ dan fungsi.  Ia  merupakan bagian  konstitutif  dengannya seseorang  memanifestasikan dan mengekspresikan dirinya  melalui  itu (bdk. Congregazione per la  Dottrina della  Fede, Istr. Dignitas personae, n. 5, AAS 100 (2008), hlm. 861-862).

Dengan penegasan seperti ini, Gereja hendak menyatakan bahwa  setiap orang, pria dan wanita, harus mengakui dan menerima seksualitasnya (KGK, 2333). Ketika Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Ia memberi kepada mereka martabat pribadi yang sama. Pria dan wanita harus memperhatikan dan menerima seksualitasnya (KGK, 2393).  Penentuan jenis kelamin adalah  seseorang adalah hak prerogratif Tuhan.

Penegasan Gereja secara eksplisit  menyangkut operasi kelamin muncul pada tahun 2003. Setelah melakukan studi yang intensif, Kongregasi Doktrin Iman dalam dokumen sub secretum yang tidak dipublikasikan, menyatakan  bahwa  operasi kelamin  adalah sesuatu  yang superfisial dan bersifat eksternal  yang tidak dapat mengubah kepribadiaan seseorang. Jika  seseorang  dari  lahirnya  adalah  pria , maka  ia  akan tetap demikian  adanya; jika ia wanita, maka ia tetap wanita.

Apa yang ditegaskan  di atas ini hemat  kami berhubungan  erat  dengan konsep teologis tentang penciptaan  pria dan wanita. Dalam konsep kristiani tentang penciptaan, manusia selalu berjenis kelamin pria  dan wanita dan perbedaan seksual berasal dari hakekat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Atas dasar itu maka orang yang mengganti jenis kelaminnya tidak dapat diakui sebagai identitas lain selain yang  telah  tertanam  dalam struktur metafisik original.  Intervensi medis melalui  operasi kelamin tidak mengubah struktur genetik dan kromosomik seorang individu.

Implikasi Yuridis

Merujuk pada pandangan Gereja di atas maka menjadi jelas bahwa orang yang melakukan operasi kelamin tidak dapat menikah secara sah. Ada berapa alasan mendasar, jika kita menghubungkannya dengan hakekat perkawinan katolik, yakni:

Pertama, perkawinan katolik mengenal prinsip dualitas seksual, artinya antara seorang pria dan seorang wanita (bdk. KHK, kan. 1055, §1). Operasi kelamin tidak mengubah struktur genetik seseorang. Memperbolehkan seseorang yang telah melakukan operasi kelamin untuk menikah, sama artinya memperoleh dua orang yang berkelamin sama untuk menikah. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip perkawinan Gereja.

Kedua, perkawinan katolik  membentuk persekutuan seumur hidup (consortium totius vitae) dan menurut kodratnya terarah kepada kesejahteraan suami-istri  (bonum coniugum). Secara kodrati, hal ini hanya mungkin tercapai antara seorang pria dan seorang wanita. Pria yang dari sono-nya  seorang pria; demikian pun sebalinya.

Ketiga, perkawinan katolik mengenal prinsip prokreatif, artinya terbuka terhadap kelahiran anak melalui  tindakan persetubuhan (actus conjugalis). Operasi kelamin mengakibatkan seseorang menjadi steril karena intervensi eksternal. Sterilitas dalam konteks ini menutup kemungkinan untuk mendapatkan anak.

Penutup

Dengan mengatakan bahwa mereka  yang  melakukan operasi kelamin tidak dapat menikah secara sah, tidak  berarti mengabaikan mereka dalam pelayanan pastoral. Para gembala jiwa harus tetap memberikan perhatian yang wajar dan manusiawi mengingat mereka adalah juga anak-anak Allah, sesama yang harus diterima apa adanya.

Apa persisnya bentuk perhatian tersebut, tentu disesuaikan dengan situasi dan keadaan konkrit. Namun  yang pasti  bahwa  memberikan mereka  harapan (palsu) bahwa mereka dapat  menikah secara sah adalah sesuatu yang tidak benar  karena,  selain merugikan secara spiritual, juga   bertentangan  prinsip doktrinal Gereja.