MIRIFICA.NEWS, AGATS – Titik awal merupakan hal penting pada sebuah proses. Workshop Audio Visual untuk Keuskupan Agats-Asmat menjadi tonggak perdana revolusi karya pastoral yang dikerjakan bersama umat keuskupan ini. Berikut wawancara Mirifica News dengan RD Lucius Joko, Ketua Komsos Agats-Asat berkaitan dengan workshop, hingga rencana panjang karya komsos di sini.
Keterangan: M (Mirifica News), J (RD Lucius Joko)
M: Romo, kenapa terpikir mengadakan workshop audio visual di sini?
J: Yang pertama, dari segi spiritualitas. Pewartaan tentang iman itu penting, sedangkan masyarakat Asmat ini, saya lihat sangat gemar dengan media audio visual. Mereka lebih senang menonton daripada membaca, menyaksikan audio visual daripada mendengarkan pengajaran konvensional. Inilah situasi yang ditangkap Komisi Komsos Agats-Asmat untuk mengadakan workshop ini dengan harapan: Komsos Agats dan beberapa petugas pastoral mampu membuat pewartaan iman lewat media audio visual.
Yang kedua, mengeksplor Asmat. Asmat itu sebetulnya memiliki banyak hal menarik tapi belum terekspos ke kancah nasional bahkan internasional. Salah satu cara mengeksposnya adalah melalui foto, video, yang dielaborasi pada workshop ini.
Mewartakan itu seharusnya membahagiakan dan membawa sukacita. Terdapat banyak sekali hal menggembirakan di Asmat bila diwartakan, contohnya budaya, kehidupan sehari-hari masyarakat Asmat, alamnya, keunikan dan kekhasan di sini. Ini seharusnya mampu diangkat untuk menjadi sukacita bagi dunia luar Asmat.
M: Namun, apakah betul bahwa paradigma “Papua teknologinya terbatas” menjadi tantangan besar untuk pelatihan ini?
J: Sebetulnya tidak juga, paradigma itu lebih pas dikatakan “Papua terlihat teknologinya terbatas”. Asmat sebagai kabupaten sudah berkembang cukup pesat; lebih-lebih dalam hal teknologi. Fasilitas di sini sebetulnya sudah sangat memadai. Hanya saja, fasilitas ini baru menjadi berkat bila sumber daya manusia-nya mau bergerak, mau kreatif dan inovatif dengan fasilitas itu.
M: Kalau begitu, apa sebetulnya yang menjadi tantangan pastoral (dalam konteks audio visual) di Keuskupan Agats-Asmat?
J: Meski fasilitas dan teknologi sudah ada, yang masih kurang adalah minat dalam berkreasi dan berinovasi. Rata-rata ada sedikit rasa cepat puas ketika sudah melakukan sesuatu untuk Gereja. Di tempat lain misalnya, ketika orang lain sudah membuat “A,B, dan C”, umat secara sendirinya tertantang untuk membuat lebih, katakan “A,B,C, dan D”.
M: Berkaca pada hari pertama workshop, bagaimana pandangan Romo mengenai dinamika peserta?
J: Saya melihat antusiasme dan semangat, yang mana juga memberikan harapan bahwa workshop ini bisa berhasil. Toh keberhasilan workshop ini bukan dilihat dari jumlah peserta dan semangat mereka, tapi dari tindak lanjutnya. Buah-buah ke depan ini yang menjadi harapan saya.
M: Ada peserta pelatihan yang datang dari SMP dan SMA lokal. Menurut Romo, bagaimana proses yang mereka alami pada pelatihan ini?
J: Mereka sengaja kami undang karena mereka adalah generasi penerus Gereja. Mereka adalah Gereja masa kini dan masa depan. Anak-anak muda inilah juga yang punya daya imajinasi lebih tinggi dan pengetahuan akan kekinian. Mereka lebih dekat dan lekat dengan perkembangan zaman sehingga mengetahui persis bagaimana nantinya menjawab kebutuhan pastoral untuk anak seusia mereka.
M: Bagaimana potensi peserta workshop untuk karya pewartaan di Agats-Asmat?
J: SDM di sini sebetulnya sudah sangat mampu untuk berkarya. Pun, kami masih sangat memerlukan upgrade dengan pelatihan yang sifatnya kontinu, sehingga apa yang mereka miliki tidak menguap hilang.
M: Apa rencana jangka pendek setelah pelatihan ini selesai?
J: Di tingkat keuskupan, kita akan memulai pembuatan video pewartaan durasi pendek. Isi dari video itu adalah ajaran iman, tradisi Gereja, juga pengulasan Kitab Suci. Cara mempublikasikannya, memfasilitasi paroki-paroki dan stasi-stasi untuk secara rutin nobar (nonton bareng) produk film itu, bahkan lewat gawai mereka. Jadi ada dua metode, nobar di tingkat paroki dan stasi, serta penyebaran via internet.
Tambah lagi, tokoh yang memainkan peran pada film-film ini adalah masyarakat asli. Mereka akan melihat dirinya sendiri.
M: Kalau rencana jangka panjang untuk karya Komisi Komsos Agats-Asmat?
J: Komisi Komsos harus menjadi mercusuar dalam banyak aspek: iman, sosial, budaya, bahkan ekonomi. Semua ini demi mengembangkan hidup masyarakat Asmat. Komsos Agats-Asmat harus hadir dengan caranya, untuk menjadi garam dan terang bagi masyarakat lokal, bukan hanya umat Katolik setempat.
Selain audio visual…
Pertama, pengaktifan kembali media cetak, majalah keuskupan, yang rencananya diterbitkan setiap caturwulan. Majalah merupakan bentuk misi pewartaan ke dalam dan ke luar. Ke dalam untuk masyarakat Asmat, ke luar untuk siapapun. Melalui majalah ini juga, langkah gerak pastoral Keuskupan Agats-Asmat bisa diperkenalkan.
Lalu, Mgr. Aloysius Murwito, OFM (Uskup Agats-Asmat) mendambakan sebuah radio komunitas sebagai media komunikasi. Nantinya, materi dari radio tetap berfokus kepada pewartaan, gerak pastoral keuskupan, sambil bersinergi dengan pemerintah daerah dan lintas agama. Serta, media radio ini diharapkan dapat mempercepat penyampaian informasi, berita yang jelas dan benar, untuk para pendengar.
Kontak Keuskupan Agats-Asmat:
Baca juga:
“Warkop” Audio Visual, Umat Agats-Asmat Hasilkan Puluhan Video
17 Jam: Ini Perjalanan Kami Menuju Asmat
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.