YANG paling pokok dari teologi kerahiman adalah bahwa Allah itu Maharahim, bahwa kerahiman adalah tindakan Allah yang paling mendasar. Paus Fransiskus, dalam Misercordiae Vultus 2 mengatakan: “Kerahiman: tindakan utama dan tertinggi dengan mana Allah datang menjumpai kita”, dan Allah menjumpai kita melalui Yesus Kristus.
“Jadi, Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Allah bagi manusia demi keselamatan umat manusia. Lalu Gereja sebagai lembaga keselamatan yang didirikan Kristus itu memiliki tugas untuk melanjutkan kerahiman ilahi itu. Gereja memiliki misi untuk mewajahkan kerahiman ilahi itu dalam seluruh perutusannya baik melalui kata maupun perbuatan. Seluruh kehidupan Yesus, kata dan perbuatanNya, adalah perwujudan komunikasi diri Allah yang maharahim terhadap manusia,”ujar Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat, Unwira Kupang (Seminari Tinggi St. Mikhael, Kupang) Dr. Norbert Jegalus, pada Seminar Puncak Pekan Komunikasi Sosial Nasional Konferensi Waligereja Indonesia di Aula Paroki Gereja Santa Maria, Gunungsitoli, Nias, Sabtu (7/5/2016).
Norbertus menyebutkan, dalam Misercordiae Vultus , Paus Fransiskus menulis: “Tanda-tanda yang Ia kerjakan, terutama dalam menghadapi orang-orang berdosa, orang-orang miskin, kaum marjinal, orang-orang sakit, dan orang-orang menderita, semua bertujuan untuk mengajarkan kerahiman.” Jadi, semua tindakan Yesus itu adalah tanda kerahiman Allah, di mana dari semua tindakan itu menunjukkan satu bukti tunggal yakni bahwa Allah itu Mahabelaskasih. Tidak ada satupun dalam diri Yesus, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tanpa belaskasih.
Kalau Gereja itu adalah pelanjutan hidup Yesus Kristus, maka Gereja harus mendasarkan seluruh hidupnya pada kerahiman ilahi. Itu artinya, pertama Gereja harus mendasarkan seluruh hidup dan karyanya pada Allah yang belaskasih; dan karena itu, kedua, Gereja dipanggil untuk melaksanakan seluruh karya pewartaannya dengan semangat belaskasih dan bukan dengan semangat kekuasaan.
“Kredibilitas Gereja terlihat dalam cara ia menunjukkan kasih yang penuh rahim dan berbelaskasih. Gereja memiliki sebuah keinginan tak berujung untuk menunjukkan kerahiman”, tegas Paus Fransiskus dalam Misericodiae Vultus seperi dikutip Norbert.
Jadi, kata Norbert sikap belaskasih itu tidak ada akhirnya dan tidak ada ukurannya. Sikap belaskasih itu menuntut kita untuk tidak mengutamakan keadilan, karena keadilan selalu dengan ukuran, sedangkan belaskasih tanpa ukuran. Betul, kita menjalankan keadilan dalam hidup bersama, namun prinsip keadilan itu bersifat sekunder, yang utama dalam hidup bersama adalah belaskasih.
Bagaimana cara kita sebagai anggota Gereja mewajahkan kerahiman ilahi itu dalam hidup sehari-hari? Paus Fransiskus menjawab itu dengan membuka kembali tradisi teologi moral Katolik tentang “tujuh karya jasmani dan tujuh karya rohani” sebagai tanda belas kasih. Laktansius, penulis Kristen kuno, adalah orang pertama yang menyusun daftar tujuh karya jasmani kerahiman ini, dengan enam karya dari kotbah di bukit di dalam Matius 25:35 dst dan satu karya diambil dari Kitab Tobit 1:17, sehingga tujuh karya jasmani itu sebagai berikut: (1) memberi makan kepada yang lapar; (2) memberi minum kepada yang haus; (3) memberi pakaian kepada orang yang telanjang; (4) menyambut orang asing; (5) menyembuhkan orang sakit; (6) mengunjungi orang di penjara; dan (7) menguburkan orang mati. Karya jasmani yang terakhir ini diambil oleh Laktansius dari Kitab Tobit. Lalu secara paralel Laktansius menyusun daftar tujuh karya rohani kerahiman: (1) menasehati orang yang bimbang; (2) mengajari orang yang tidak berpengetahuan; (3) menghibur orang yang menderita; (4) mengampuni yang melakukan ketidakadilan; (5) menanggung dengan sabar mereka yang berbuat jahat kepada kita; dan (7) mendoakan orang yang hidup dan mati.
Tentu saja semua karya belaskasih ini masih berlaku sampai sekarang, sebagaimana dikutip lagi oleh Paus Fransikus dalam Bulla “Misericodiae Vultus”, namun ruang lingkupnya harus diperluas dan disempurnakan. Semangat kerahiman harus mampu mengendus apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh manusia zaman sekarang dan kita harus menemukan secara baru perwujudan semangat kerahiman itu.
Paus Fransiskus dalam hal ini, kata Norbert, sangat menyadari kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang, sehingga ia mengajak kita: “Singkatnya, kita dipanggil untuk menunjukkan kerahiman karena kerahiman pertama-tama telah diperlihatkan kepada kita. Mengampuni pelanggaran-pelanggaran menjadi ungkapan yang paling jelas dari kasih sayang yang penuh belaskasih…Kadang-kadang betapa sulit tampaknya mengampuni. Namun pengampunan adalah alat yang ditempatkan ke dalam tangan kita yang rapuh untuk mendapatkan ketenangan hati. Membebaskan diri dari amarah, murka, kekerasan, dan balas dendam adalah prasyarat untuk hidup dengan gembira” (MV 9).
Dari tujuh karya rohani kerahiman, Paus Fransiskus sangat menekankan karya mengampuni. Tentu tidak gampang memberikan pengampunan kepada orang melakukan kesalahan atau kejahatan kepada kita, karena kita cenderung menggunakan perspektif keadilan. Menurut faham keadilan, kesalahan harus dihukum sesuai dengan besar dan bentuk kesalahan. Sedangkan faham kerahiman mengajarkan bahwa tindakan jahat yang dilakukan terhadap diri kita harus dijawab dengan sikap memberikan pengampunan bukan hukuman.
Paus Fransiskus mengajak kaum beriman agar mengikuti sikap Allah yang berhadapan dengan manusia yang berdosa tidak dengan menghukum melainkan dengan mengampuni. Itulah kerahiman, itulah belaskasih.
“Belaskasih itu membebaskan orang yang diampuni, karena kesalahannya tidak lagi menguasai dirinya, dan sekaligus membebaskan orang yang memberikan pengampunan, karena dirinya tidak lagi dikuasai oleh perasaan murka dan balas dendam,”ujar Norbertus.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI