Pendahuluan
Konferensi Para Uskup atau yang lazim dikenal dengan sebutan Konferensi Wali Gereja untuk konteks kita di Indonesia, memiliki catatan sejarah tersendiri. Secara historis, conventus episcoporum ini lahir sekitar tahun 1830 dan pada awalnya merupakan pertemuan persahabatan yang bersifat informal di antara para uskup untuk menjalin kerjasama yang terkoordinasi dan terencana demi menghadapi campur tangan kekuasaan negara (bdk. G. Feliciani, Le conferenze episcopale, Bologna, 1974, hlm. 15). Kemudian pertemuan informal tersebut semakin intens dilakukan di tahun-tahun sesudahnya. Paus Leo XIII dan para penggantinya sangat mendorong inisiatif bersama para uskup ini mengingat manfaatnya yang positif dalam mengidentifikasi dengan lebih baik kebutuhan umat yang dipercayakan kepada tugas penggembalaan mereka.
Selanjutnya, hal menyangkut conventus episcoporum ini dibicarakan dalam Konsili Vatikan II melalui serangkaian pertemuan dan diskusi alot yang pada akhirnya menghasilkan sebuah dekret tentang kehidupan dan pelayanan para Uskup Christus Dominus pada tanggal 28 Oktober 1965. Dalam dekret tersebut digariskan beberapa hal yang berkaitan dengan Konferensi Para Uskup. Kitab Hukum Kanonik 1983 kemudian mengambil dekret ini sebagai salah satu referensi penting dalam merumuskan berbagai ketentuan yuridis menyangkut Konferensi Para Uskup sebagaimana tertuang dalam kanon 447-459.
Apa hakekat, fungsi dan relasinya dengan Uskup Diosesan serta kewenangan Konferensi Para Uskup seringkali menjadi pertanyaan di kalangan umat beriman. Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut sekaligus sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Hakekat
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Konferensi Para Uskup didefinisikan sebagai himpunan para Uskup suatu negara atau wilayah tertentu, yang melaksanakan pelbagai tugas pastoral bersama-sama untuk kaum beriman kristiani dari wilayah itu, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan program-program kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum. Konferensi ini merupakan suatu lembaga tetap (bdk. Kan. 447).
Rumusan normatif di atas merujuk pada Dekret Cristus Dominus yang mengartikan Konferensi Para Uskup sebagai sebuah lembaga tetap (institutum permanens) di mana para uskup bersama-sama menjalankan tugas pastoral. Dalam dekret tersebut dinyatakan bahwa Konferensi-konferensi para uskup yang telah diselenggarakan di banyak negara telah memberikan berbagai bukti luar biasa mengenai kerasulan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, sangat tepatlah jika para uskup dari negara atau wilayah yang sama membentuk suatu perkumpulan di mana mereka dapat bertemu pada waktu-waktu tertentu untuk bertukar pikiran dan membicarakan hal-hal pastoral secara bersama-sama (bdk. Christus Dominus, 38)
Fungsi dan Relasinya Dengan Uskup Diosesan
Jika kita mengacu pada hakekat Konferensi Para Uskup dalam Dekret Christus Dominus 38 dan kanon 447, maka tampaklah bahwa fungsi Konferensi Para Uskup pada dasarnya berhubungan dengan bidang pastoral. Konferensi Para Uskup bukanlah badan legislatif dan juga bukan lembaga perantara pemerintahan antara Tahta Suci dan masing-masing uskup melainkan organ supra-keuskupan yang mewadahi relasi dan persatuan di antar para uskup.
Dalam Pedoman Pelayanan Pastoral Para Uskup Apostolorum Sucessores disinggung tentang fungsi pastoral Konferensi Para Uskup dalam hubungan dengan membantu para uskup dalam pelayanan mereka untuk kebaikan seluruh umat beriman. Fungsi ini dijalankan dalam berbagai bidang pastoral melalui peraturan bersama menyangkut beberapa hal pastoral tertentu melalui dekret umum yang mengikat para Uskup dan umat beriman di wilayah tersebut; penyampaian doktrin Gereja dengan cara yang lebih menukik dan selaras dengan karakter khusus wilayah tersebut serta keadaan umat beriman; koordinasi berbagai upaya individual melalui inisiatif-inisiatif bersama yang penting dalam bidang apostolik dan karya amal; menjembatani dialog dengan otoritas politik; menciptakan layanan-layanan umum yang berguna yang kebanyakan keuskupan tidak dapat menyediakannya sendiri (bdk. Apostolorum Succesores, 28).
Dalam hubungan dengan fungsi, beberapa hal penting yang menjadi bagian dari perhatian Konferensi Para Uskup adalah menyangkut upaya-upaya yang harus dilakukan terkait formasi imam dan calon imam (bdk. Optatam Totius, 22; KHK, kan. 242, §1) serta diakon permanen (Lumen Gentium, 29; KHK, kan. 236); penggunaan bahasa daerah dalam liturgi (Sacrosanctum Concilium, 36); penyesuaian dan aturan tentang perayaan sakramen-sakramen (Sacrosanctum concilum, 39, 40, 44); ekumene (Unitatis Redintegratio, 8 ; Ad Gentes, 20; KHK, kan. 755, §2); sumber daya yang digunakan dalam katekese keuskupan (Ad Gentes, 20); pendidilan tinggi dan kapelan universitas (KHK. kan. 804 §1; 809; 810, §2; 821); sarana komunikasi sosial dan integritas iman dan moral umat beriman (KHK kan. 823; 830; 823, 830; 831, §2).
Menarik untuk mencermati korelasi antara fungsi pastoral yang dijalankan Konferensi Para Uskup dan yang dijalankan masing-masing Uskup di keuskupannya. Hal pertama yang menarik adalah bahwa pelaksanaan fungsi pastoral Konferensi Para Uskup sama sekali tidak mengurangi kuasa yang dimiliki oleh masing-masing Uskup Diosesan. Tugas pastoral yang dijalankan masing-masing Uskup Diosesan jauh lebih luas dari tindakan bersama dalam Konferensi Para Uskup karena berdasarkan hukum ilahi Uskup Diosesan secara personal dan langsung bertanggung jawab atas Gereja di mana ia adalah kepala, mempelai dan gembalanya. Setiap Uskup Diosesan memiliki segala kuasa (omnis potestas) berdasarkan jabatan, sendiri dan langsung yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas pastoral keuskupan yang dipercayakan mereka (bdk. KHK, kan. 381, §1). Hal kedua yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa sesungguhnya fungsi yang jalankan oleh Konferensi Para Uskup dalam arti tertentu justru sangat membantu dan mendukung pelaksanaan munus pastoralis masing-masing Uskup Diosesan. Dalam kaitan dengan hal ini, Dekret Christus Dominus menyatakan bahwa di zaman ini para uskup seringkali sulit menjalankan fungsinya dengan baik jika tidak bekerjasama dengan para uskup lainnya (bdk. Christus Dominus, 37). Atas dasar itu maka kita dapat mengatakan bahwa munus governandi di keuskupan masing-masing dan partisipasi dalam Konferensi Para Uskup bukanlah dua tugas yang disandingkan, melainkan berkaitan erat satu sama lain dan saling bergantung satu sama lain. Sesungguhnya, pelaksanaan tugas seorang Uskup Diosesan di keuskupannya memerlukan kolaborasi dengan saudara-saudara lain dalam episkopat melalui pertukaran pengalaman dan pendapat, serta melalui beberapa tindakan atau keputusan disipliner yang diambil secara bersama-sama untuk hal-hal tertentu. Dalam kesatuan dan kerjasama dengan para uskup lain yang tergabung dalam Konferensi Para Uskup, ia dapat mencapai apa yang sulit dicapainya sendirian.
Tugas yang dijalankan oleh seorang Uskup Diosesan dalam Konferensi Para Uskup dibingkai dan dikonfigurasikan sebagai bagian dari tugas yang memberikan manfaat tertentu bagi keuskupannya sendiri. Hal ini tentu tidak berarti bahwa, dengan visi yang reduktif, ia harus memberikan prioritas utama bagi kepentingan portio populi Dei yang dipercayakan kepadanya, sebaliknya tugas yang diembannya tersebut berkontribusi positif bagi terciptanya pemerintahan yang baik di keuskupannya sekaligus bermanfaat bagi Gereja Partikular lainnya dan memperkuat effectus collegialis dengan rekan-rekan Uskup. Ia harus mendedikasikan waktu untuk menjalankan tugas yang dipercayakan oleh Konferensi Para Uskup kepadanya dan di lain pihak ia harus menjamin bahwa pelaksanaan tugasnya di keuskupan tetap berjalan sebagaimana seharusnya dan tidak terbengkelai.
Kewenangan Normatif
Kanon 455 memuat beberapa ketentuan yang berhubungan dengan kewenangan Konferensi Para Uskup. Norma kanonik ini terdiri dari empat paragraf penting yang perlu dicermati dengan baik.
Dalam paragraf pertama (kan. 455, §1) dinyatakan bahwa “Konferensi para Uskup hanya dapat mengeluarkan dekret-dekret umum dalam perkara-perkara di mana hukum universal memerintahkannya, atau mandat khusus Takhta Apostolik menetapkannya baik atas motu proprio maupun atas permohonan konferensi”. Ketentuan ini mengandung beberapa hal penting, yakni:
Pertama, tentang dekret umum. Dalam pengertian yuridis, dekret umum sama dengan undang-undang yang diberikan oleh pembuat undang-undang yang berwenang yang di dalamnya berisikan aturan-aturan umum bagi suatu komunitas yang mampu menerima undang-undang (bdk. kan. 29). Dekret-dekret umum hanya dapat dikeluarkan oleh otoritas yang memiliki kuasa legislatif dan bukan kuasa eksekutif kecuali dalam kasus-kasus partikular sesuai dengan norma hukum, kuasa itu dengan jelas diberikan kepadanya (bdk. kan. 30; kan. 135, §2). Penting untuk diingat bahwa sekalipun kanon hanya menyebut tentang dekret-dekret umum, namun ketentuan dalam kanon 455, §1 ini juga mencakup dekret umum eksekutif yang memuat secara lebih persis cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaan undang-undang (bdk. kan. 30, §1) sebagaimana ditegaskan oleh Komisi Kepausan (bdk. Pontificia Comissione per L’interpretazione Autentica del Codice di Diritto Canonico, risposta del 5 luglio 1985, dalam AAS 77, hlm. 771).
Kedua, batasan kewenangan. Ketentuan normatif ini secara jelas memperlihatkan bahwa bidang yang menjadi kewenangan Konferensi Para Uskup bersifat terbatas, yakni hanya terkait materi yang secara eksklusif ditetapkan oleh hukum universal atau oleh disposisi khusus dari Tahta Suci, entah itu berbentuk motu proprio ataupun permohonan dari Konferensi yang bersangkutan. Dengan kata lain, hal ini tidak tergantung pada kemauan masing-masing Konferensi Para Uskup untuk mengeluarkan dekret umum terkait materi apapun. Disposisi ini menandakan perbedaan penting antara Konferensi Para Uskup dan Konsili Partikular yang pada dasarnya dapat mengeluarkan aturan untuk seluruh wilayah dan untuk semua materi yang tidak direservasi pada otoritas tertinggi. Hal ini hendak menggarisbawahi hakekat dan finalitas Konferensi Para Uskup yang pada prinsipnya bukan institusi pembuat undang-undang (bdk. G. Ghirlanda, De Episcoporum Conferentiis, Periodica 1990, hlm. 638). Pembatasan yang digariskan dalam §1 ini dapat dipahami karena kewenangan legislatif yang terlalu luas dapat membatasi ruang gerak dari masing-masing Uskup Diosesan. Apalagi jika mengingat bahwa Konferensi Para Uskup bukan cuma sekedar pertemuan sesewaktu para Uskup seperti institusi sinoladitas partikular lainnya, namun membentuk sebuah institusi yang bersifat tetap (bdk. Kan. 447). Sebagai konsekuensinya, jika Konferensi Para Uskup memiliki kewenangan legislatif berkarakter umum, maka hal ini dapat mengondisikan secara sistematis dan berkelanjutan berbagai aspek dari pelayanan setiap Uskup Diosesan dengan bahaya nyata bahwa hal tersebut akan melemahkan wewenang yang menjadi milik masing-masing Uskup berdasarkan hukum ilahi dalam membimbing sebagian umat Allah yang dipercayakan kepada reksa pastoralnya (G. Feliciani, Le Conferenze episcopali, 1996, hlm. 412).
Dalam paragraf kedua (kan. 455, §2) dinyatakan bahwa “agar dekret-dekret yang disebut dalam §1 dikeluarkan secara sah dalam sidang pleno, haruslah itu diajukan dengan sekurang-kurangnya dua per tiga suara para Uskup yang tergabung dalam konferensi dan mempunyai suara deliberatif; dan dekret-dekret itu tidak memiliki daya mewajibkan kecuali mendapatkan rekognisi dari Takhta Apostolik dan dipromulgasikan secara legitim”. Ketentuan ini memuat beberapa hal sebagai berikut, yakni:
Pertama, sidang pleno. Organ yang berwenang menetapkan dekret umum adalah sidang pleno. Dengan kata lain, dekret umum tidak dapat ditetapkan secara sah oleh organ inferior lain dalam struktur Konferensi Para Uskup selain sidang pleno. Selain itu, kewenangan ini tidak dapat didelegasikan, dalam arti bahwa sidang pleno tidak dapat mendelegasikan kewenangan ini kepada instansi inferior dalam Konferensi Para Uskup. Penafsiran otentik atas dekret Christus Dominus tidak memberi ruang sedikit pun untuk pendelegasian wewenang dalam hubungan dengan dekret umum (bdk. Commissione centrale per il coordinamento dei lavori post-conciliari e per l’interpretazione dei decreti del Concilio del 10 Giugno 1996, dalam Enchridion Vaticanum, vol. X, hlm. 80-81).
Kedua, suara mayoritas yang memenuhi syarat. Untuk validitas diperlukan suara mayoritas yang memenuhi syarat, yakni keputusan tersebut disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga suara yang bukan dari mereka yang hadir, melainkan dari para Uskup yang menjadi anggota konferensi dengan suara deliberatif. Ketentuan yang rigid ini dapat menimbulkan kesulitan praktis mengingat bahwa dapat terjadi ketidakhadiran dari lebih dari sepertiga yang memiliki hak suara disebabkan oleh alasan berat tertentu dan mengakibatkan ketidakmungkinan untuk menetapkan dekret umum yang secara yuridis mengikat semua. Statuta Konferensi Para Uskup dapat menggariskan pedoman khusus terkait hal ini misalnya dengan memberikan kemungkinan untuk menyampaikan suara secara independen tanpa harus berpartisipasi dalam sidang pleno.
Ketiga, rekognisi. Supaya dekret-dekret umum Konferensi Para Uskup memiliki daya mewajibkan, maka rekognisi dari Tahta Suci merupakan menjadi syarat mutlak. Tanpa rekognisi dekret tersebut tidak memiliki daya yuridis yang mewajibkan sekalipun semua uskup yang tergabung dalam Konferensi Para Uskup telah memberikan kesepakatan penuh (bdk. F. Urrutia, Responsa Ponfificia Commissionis Codicis Iuris Canonici Authentice Interpretando, dalam “Periodica”, 1985, hlm. 613, n. 9). Dalam hal ini Tahta Suci casu quo Dikasteri yang berkompeten ratione materiae memeriksa secara seksama dokumen dekret umum tersebut untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan hukum dan juga kegunaannya, apakah tidak mengandung sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan Gereja khususnya kesatuan iman dan persekutuan. Intervensi Tahta Suci seperti ini dapat juga dipandang sebagai partisipasi dalam pembentukan hukum partikular. Namun partisipasi tersebut berhubungan dengan pemeriksaan dokumen dan sama sekali tidak menggantikan posisi Konferensi Para Uskup sebagai penanggungjawab utama atas keputusan terkait dekret umum tersebut (bdk. M. Rivella, Decisioni e dichiarazioni delle conferenze episcopali, dalam Quaderni di diritto ecclesiale 1996, hlm. 424).
Dalam paragraf ketiga (kan. 455, §3) dinyatakan bahwa “cara promulgasi dan waktu mulai berlakunya dekret-dekret itu ditentukan oleh Konferensi Para Uskup sendiri”. Jika ketentuan ini dihubungkan dengan kanon 8 §2 yang berbicara tentang cara promulgasi dan waktu pemberlakuan undang-undang partikular tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kanon 455, §3 memberikan kewenangan kepada Konferensi Para Uskup itu sendiri untuk menentukan cara yang dipandang sesuai terkait promulgasi dekret umum setelah mendapat rekognisi Tahta Suci termasuk menentukan kapan dekret tersebut mulai berlaku dan eo ipso mewajibkan secara yuridis.
Dalam paragraf keempat (kan. 455, §3) digariskan bahwa “dalam kasus-kasus di mana baik hukum universal maupun mandat khusus Takhta Apostolik tidak memberikan kuasa yang disebut dalam §1 kepada Konferensi para Uskup, kewenangan setiap Uskup Diosesan tetap utuh dan konferensi atau ketuanya tidak dapat bertindak atas nama semua Uskup, kecuali semua dan setiap Uskup memberikan persetujuannya”. Ketentuan ini menggariskan beberapa hal penting berikut ini:
Pertama, dari studi atas kanon 455 ditemukan bahwa §4 ini ditambahkan untuk lebih menjelaskan hubungan antara kewenangan Konferensi Para Uskup dan kuasa yang dimiliki masing-masing Uskup berdasarkan hukum Ilahi (bdk. Communicationes, 24 1992, hlm 313-314). Jika Tahta Suci tidak memberikan kuasa kepada Konferensi Para Uskup untuk menetapkan dekret-dekret umum sebagaimana digariskan dalam §1, maka kewenangan masing-masing Uskup tetap utuh dan tidak dapat dibatasi kecuali oleh otoritas tertinggi Gereja.
Kedua, adanya kemungkinan bagi Konferensi Para Uskup atau ketuanya untuk bertindak atas nama semua Uskup (agere nomina omnium episcoporum) dengan syarat bahwa semua dan setiap Uskup yang tergabung dalam Konferensi Para Uskup memberikan persetujuan secara bulat. Frase “agere nomina omnium episcoporum”, dapat dipahami sebagai cara baru untuk mengeluarkan norma-norma hukum yang mengikat semua uskup dalam lingkup Konferensi Para Uskup, mungkin juga mengenai hal-hal di luar lingkup kompetensi yang diberikan oleh hukum kanonik. Keputusan yang diambil atas dasar suara bulat ini dapat dipandang sebagai perwujudan rasa persaudaraan dan kesatuan serta cinta kasih di antara para Uskup.
Penutup
Keberadaan Konferensi Para Uskup sangat penting dan strategis dalam konteks kehidupan menggereja. Ia merupakan lembaga tetap yang menjalankan fungsi pastoral yang sangat mendukung pelaksanaan tugas pastoral para Uskup di keuskupannya masing-masing. Selain itu, ia juga memiliki kewenangan normatif sesuai dengan ketentuan norma hukum kanonik.
Pemahaman yang baik tentang hekakat, fungsi dan wewenang Konferensi Para Uskup perlu dimiliki bukan saja oleh para Uskup yang tergabung didalamnya melainkan juga oleh umat beriman seluruhnya. Pemahaman yang baik mendorong umat beriman untuk – dengan satu dan lain cara – mendukung dan mengambil bagian dalam fungsi pastoral yang dijalankan oleh Konferensi Para Uskup serta memberikan input yang berguna bagi pembaruan internal yang mungkin dibutuhkan oleh institusi ini.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.