ALLAH: TAK TERHAMPIRI, NAMUN SANGAT DEKAT
Bangsa Israel menyadari bahwa keberadaannya sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Allah. Dialah yang membuat mereka menjadi ada di dalam dunia dan menjadikan mereka sebuah bangsa, bahkan bangsa yang dipilih oleh Allah menjadi umat kesayangannya. Dengan berbagai cara Perjanjian Lama memberikan gambaran tentang Allah yang menyatakan diri kepada mereka dan apa yang telah dilakukan-Nya bagi mereka dalam perjalanan sejarah mereka. Allah itu tidak kelihatan karena Dia adalah Roh. Dia jauh tak terhampiri oleh manusia, namun sekaligus sangat dekat kepada mereka.
A. Allah Adalah Roh
Kata “roh” yang berasal dari rumpun Bahasa Semit (Ibrani dan Arab) berarti sesuatu yang hidup tetapi tidak berbadan jasmani. Dalam Perjanjian Lama kata “ruakh” dalam arti aslinya adalah udara yang bergerak, seperti angin atau nafas. Bagi manusia dan binatang, ruakh menjadi tanda kehidupan mereka. Ruakh diberikan oleh Pencipta ke dalam manusia (Kej. 2:7) dan binatang (Kej. 7:22). Inilah bahasa kiasan yang berarti “menjadikan hidup”. Manusia adalah makhluk jasmani-rohani. Ia diciptakan oleh Allah untuk hidup selamanya, walaupun badannya akan mati dan menjadi tanah. Ia mempunyai hidup rohani dan tujuan serta maknanya melampaui dunia ini. Ketika dikatakan bahwa Allah adalah roh, biasanya yang dimaksudkan paling tidak adalah bahwa Ia tidak memiliki tubuh fisik, bahwa ia immaterial.
Dalam Kitab Suci Roh seringkali diperlawankan dengan daging. “Orang-orang Mesir hanyalah manusia, bukan ilah; kuda-kudanya daging belaka bukan roh” (Yes. 31:3; Yes. 40:6-8; Kej. 6:3). Dalam kutipan ini daging searti dengan manusia, yang lemah, sedangkan roh searti dengan ilah(i), yang berdaya dan kuat. Yoh. 6:63 juga memperlawankan roh (yang menghidupkan) dengan daging yang tidak berguna sedikit pun. Mat. 26:41 dan Mrk. 14:38 berkata tentang daging yang lemah dan roh yang kuat. Yohanes menyejajarkan lahir dari Roh dengan lahir dari Allah (Yoh. 3:3,6,8; 1:13) sehingga termasuk dalam dunia ilahi.
B. Tak Terhampiri
Dengan banyak cara, Perjanjian Lama mengungkapkan keagungan Allah yang tak terhampiri. Dalam kisah panggilannya (Yes. 6), Yesaya mendapatkan penglihatan yang menyatakan kemuliaan TUHAN. Dalam penglihatan itu Yesaya melihat TUHAN duduk di atas takhta yang tinggi menjulang (ay. 1). Takhta-Nya yang tinggi dan menjulang itu menunjukkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang memenuhi langit dan angkasa. TUHAN digambarkan memakai jubah yang panjang, jubah kebesaran seorang raja. Ia disertai oleh para serafim (ay. 2), yang karena kekudusan dan kemuliaan TUHAN mereka tidak dapat memandang wajah-Nyadan menutupi muka dan kaki mereka. Para serafim memuji-Nya ”kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (ay. 3). Allah itu kudus, Dia melebihi segala sesuatu. Ia sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya, jauh melampauinya dan terpisah darinya sehingga Ia tidak terhampiri dan sangat menakutkan (bdk. Kel 33:20).
Menyadari penglihatan itu Yesaya ketakutan, “Celakalah aku! Aku binasa!” (ay. 5). Ia teringat akan akibat dahsyat yang dapat menimpa dirinya karena sebagai manusia yang berdosa ia telah melihat Allah dan kemuliaan-Nya (bdk. Kel 33:20). Tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah karena tidak ada orang yang memandang-Nya akan tetap hidup. Musa yang berbicara dengan TUHAN pun hanya melihat- Nya dari belakang. Dalam terang kekudusan Allah, nabi menyadari kedosaannya: “Aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” Ia sadar akan kemuliaan Allah yang harus disembah dan diagungkan melebihi segala sesuatu. Ia sadar juga akan kehinaannya sendiri serta kesengsaraan bangsanya yang jauh dari Allah.
C. Amat Dekat
Sebaliknya, banyak juga kisah dalam Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah berkenan turun ke dalam kehidupan dunia dan bergaul akrab dengan manusia. Kisah-kisah itu mengungkapkan bahwa Allah menghendaki hubungan erat dengan manusia. Tampak di dalamnya betapa dekat Allah dengan manusia. Ia sungguh berada di tengah-tengah manusia ciptaan-Nya, menjadi teman hidup mereka, berbicara kepada mereka.
Kisah manusia di Taman Eden membentangkan bagaimana TUHAN berjalan-jalan di kebun dalam kesejukan sore hari dan bergaul dengan manusia. Tetapi, dosa membuat manusia takut berhadapan dengan Allah karena pada mulanya tidak demikian (Kej. 2:8). Jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa tidak berarti bahwa Allah menutup diri dan tidak mau lagi bergaul dengan manusia. Henokh hidup dalam suasana persahabatan dengan Allah (Kej. 5:22-24). Demikian pula Abraham, mengingat kepercayaannya, pantas dimaksudkan ke dalam bilangan sahabat Allah. Ia mengunjungi Abraham dalam suasana kekeluargaan dan Abraham menyambut kedatangan- Nya sebagai tamu kehormatan. Ia memberitahukan kepada Abraham rencana-Nya menghukum Sodom dan Gomora (Kej. 18).
Kitab Keluaran menceritakan bagaimana TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Musa diperbolehkan merasakan pengalaman istimewa dengan Allah, sekalipun tidak melihat wajah Allah atau langsung memandang wujud-Nya dan hanya melihat punggung-Nya (Kel. 33: 21-23).
Kedekatan Allah dengan manusia dalam Perjanjian Lama tampak juga dalam penggambaran Allah sebagai seorang bapa (bdk. Kel. 4:22) dan sebagai seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya (Yes. 49:15). Gambaran lain yang mengungkapkan kedekatan Allah dengan manusia adalah gambaran tentang gembala yang baik. TUHAN memelihara Israel seperti seorang gembala memelihara kawanannya (Yes. 40:11).
D. Kehadiran Allah Dalam Dunia
Allah yang demikian terlibat dalam kehidupan manusia di dunia. Sebaliknya manusia pun menyadari kebergantungannya pada Allah yang berkuasa atas dirinya dan atas seluruh alam semesta. Ia sadar bahwa ia memerlukan bantuan dari yang ilahi dalam menjalani kehidupan dunia ini. Dalam banyak kesempatan Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana Allah hadir menjumpai manusia dan menolongnya. Tempat-tempat di mana Allah pernah hadir dan menjumpai manusia itu dipandang sebagai tempat yang suci. Tempat itu menjadi suci karena telah disucikan oleh kehadiran Allah. Tempat seperti ini sering dikunjungi oleh orang yang ingin berjumpa dengan Allah karena Ia sendiri pernah hadir di tempat itu. Kadang-kadang di tempat itu didirikan bangunan untuk mengenangkan kehadiran Allah.
Tabut Perjanjian.
Dalam Perjanjian Lama tempat paling penting dalam kaitannya dengan kehadiran Allah adalah Tabut Perjanjian. Tabut itu berupa peti yang di dalamnya ditaruh loh hukum (Kel 25:16), yaitu dua loh batu yang memuat Dasa Titah yang diterima orang Israel di Gunung Sinai. Loh-loh itu kadang disebut loh-loh hukum Allah (Kel 31:18, Ul 10:2,5); karena itu tabut itu dapat disebut sebagai Tabut Hukum (Kel 25:22). Di atas tabut itu dipa-sang dua patung kerubim (makhluk yang berbadan binatang, bersayap burung dan berkepala manusia) yang melambangkan takhta TUHAN semesta alam (bdk. 1Raj 8:6 7). Tabut yang mula-mula merupakan tempat penyimpanan Dasa Titah itu kemudian menjadi lambang TUHAN sendiri. Tidak dapat dipisahkan antara hukum dengan pemberi hukum. Tabut berperan sebagai lambang kehadiran TUHAN di tengah bangsa Israel. Tabut itu bahkan hampir diidentifikasikan dengan-Nya (bdk. Bil. 10:35-36 Musa menyapa Tabut sebagai TUHAN).
Tabut itu menyertai orang-orang Israel pada pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33-36). Ketika orang Israel hendak memasuki tanah terjanji, tabut ini memutus aliran Sungai Yordan sehingga orang Israel dapat menyeberangi sungai itu tanpa menjadi basah (Yos. 3:13 dst). Kemudian tabut ini dibawa keliling tembok Yerikho (Yos. 6) sampai benteng kota itu roboh dan orang Israel dapat merebut kota itu. Di Kanaan Tabut Perjanjian ditempatkan di satu tempat suci dari suku-suku Israel: mula-mula di Gilgal (Yos. 4-5), kemudian Betel (Hak. 20:27), dan akhirnya di Silo (1Sam. 3:3). Di Kanaan ini Tabut menjadi lambang persekutuan suku-suku Israel yang berkumpul di tempat suci itu.
Tempat Suci. Waktu orang Israel memasuki Tanah Kanaan, mereka tidak hanya merebut tanahnya tetapi juga merebut kuil-kuil kuno untuk ibadat kepada El. Orang Israel mengambil alih kuil-kuil yang merupakan tempat ibadat penduduk asli Kanaan ini dan mempergunakannya sebagai tempat ibadat mereka sendiri.
Tempat-tempat suci ini penting bagi orang Israel bukan karena mereka merebutnya dari orang Kanaan, melainkan karena kenangan akan peristiwa yang penting bagi iman mereka yang pernah terjadi di tempat itu. Di Sikhem Abraham (Kej. 12:6 dst) dan Yakub (Kej. 33:18-20) mendirikan mezbah. Di tempat ini pula para tua-tua Israel pada zaman Yosua (Yos. 24) mengucapkan janji untuk selalu setia kepada TUHAN dan menolak dewa-dewi Kanaan. Asal muasal tempat suci Betel dikaitkan dengan Yakub (Kej. 28; bahkan dengan Abraham; bdk. Kej. 12:8). Melalui kisah Yakub, dikatakan bahwa Yakub, nenek moyang mereka sendiri telah mengalami bahwa tempat itu adalah tempat suci. Dan dengan demikian selayaknya keturunan Yakub menyembah Allah mereka di tempat itu. Di Hebron ini Daud diurapi menjadi raja (2Sam. 2:4; 5:3). Di tempat ini pula Abraham mendirikan mezbah bagi Allah (Kej. 13:18; bdk. 18:1).
Selain itu orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadah sendiri. Tempat-tempat ini didirikan ketika mereka membuka suatu wilayah dan membangun permukiman. Misalnya, kuil di Gilgal, sekitar 10 km sebelah timur laut Yerikho. Tempat suci ini didirikan oleh suku-suku Israel yang telah meninggalkan Mesir dan masuk wilayah Kanaan (Yos. 4:19 dst) dan menjadi pusat keagamaan pada zaman Saul (1Sam. 11:15) dan Daud (2Sam. 19:15). Kuil ini masih tetap memegang peran penting sampai zaman Nabi Amos (Am. 4:4; 9:15; 2Raj. 2:1; 4:38). Kritik para nabi (Am. 4:4; Hos. 9:15) memberi kesan bahwa kuil Gilgal sangat dipengaruhi oleh tradisi Kanaan. Orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadat baru di atas puing-puing kota Kanaan, seperti di Silo dan di Nob. Beberapa waktu lamanya Silo dipakai untuk menyimpan tabut. Tempat suci ini hancur dalam pertikaian antara Israel melawan Filistin (bdk. Yer. 7:12; 26:6; bdk. 1Sam. 1-7).
Sebelum Daud memindahkan tabut ke Yerusalem, tempat-tempat ibadat itu masih dipergunakan. Belum ada hukum yang memusatkan ibadat di satu tempat. Yerusalem menjadi tempat penting dalam kehidupan agama Israel karena di tempat ini tabut diberi tempat dan peranan yang penting. Pemindahan Tabut Perjanjian ke Yerusalem (2Sam. 6) merupakan hal penting dalam kehidupan agama Israel. Pemindahan itu merupakan wujud pengakuan bahwa TUHAN adalah Allah yang satu-satunya dalam kerajaan Israel yang didirikan Daud.
Bait Allah.
Pembangunan Bait Allah sebenarnya sudah direncanakan oleh Daud. Daud yang telah berkuasa atas seluruh Israel merasa prihatin karena TUHAN, yang telah membuatnya besar dan mulia, serta mengantarnya ke dalam istana justru tinggal di bawah tenda. Maksudnya, Tabut Perjanjian, tanda kehadiran TUHAN itu, disimpan di dalam tenda, tempat yang sederhana, padahal Daud diam di dalam istana yang megah. Tetapi, TUHAN tidak menyetujui rencana Daud karena Ia tidak memerlukan rumah. Salomolah yang kemudian mewujudkan rencana Daud itu. Ia mendatangkan ahli-ahli bangunan dari luar negeri untuk membangun tempat ibadat yang direncanakannya. Bait Allah ini sebenarnya merupakan satu kompleks bangunan. Ada lapangan luas yang dikelilingi pagar tembok. Di bagian utara lapangan ini berdirilah bangunan Bait Allah yang sebenarnya. Sekalipun menjadi kebanggaan Israel dan dipuji keindahannya, Bait Allah bukanlah bangunan yang besar (panjang: 27,4 m, lebar: 9,4 m, dan tinggi: 13,5 m.)
Di depan bangunan ini berdiri mezbah, tempat kurban dibakar. Bangunan itu sendiri dibagi menjadi tiga: 1) tempat masuk, yang berupa serambi beratap dan tertutup; 2) yang kudus, ruangan dengan jendela-jendela dan menjadi tempat para imam menyelenggarakan ibadat tertentu, khususnya mempersembahkan kurban ukupan; 3) ruangan mahakudus, ruangan tanpa jendela (sehingga gelap sama sekali). Di ruang inilah Tabut Perjanjian ditempatkan. Keberadaan Tabut Perjanjian itu menunjukkan bagaimana TUHAN hadir di dalam rumah kediaman-Nya. Kehadiran Tuhan di Bait-Nya menjadi pusat dan pokok ibadat Israel. Berkat kehadiran-Nya, Israel menjadi bangsa terhormat dan terpilih antara bangsa yang lain (Kel. 33:15). Dari dalam bait-Nya TUHAN melindungi umat yang dipilih-Nya.
Bait Allah yang didirikan Salomo bertahan selama 400 tahun sebelum akhirnya dihancurkan oleh tentara Babel (587 SM). Sekembalinya dari pembuangan di Babel, umat Israel membangun kembali Bait Allah di tempat yang sama (selesai tahun 515 SM). Tahun 20 SM – 70 M Herodes Agung membangun Bait Allah yang baru menurut pola dasar Bait Allah yang lama. Dalam Bait Allah yang dibangun sesudah pembuangan dan yang dibangun oleh Herodes tidak lagi diletakkan Tabut Perjanjian karena tabut itu rupanya hilang waktu tentara Babel menghancurkan Bait Allah Salomo. Bait Allah Herodes dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M dan sesudah itu tidak pernah dibangun kembali.
Sumber: Lembaga Biblika Indonesia
Keterangan foto: Ketekese Kitab Suci: Ilustrasi dari www.laparolanellavita.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.