Beranda SEPUTAR VATIKAN Urbi Akankah “Game of Thrones” sukses melewati “The Lord of The Rings”?

Akankah “Game of Thrones” sukses melewati “The Lord of The Rings”?

AKHIR pekan lalu lembaga produksi film seri, HBO, secara mengejutkan menetapkan Games of Thrones sebagai penerima  13 lebih penghargaan seri produksi film Amerika, sangat mengejutkan Frasier sebagai TV Serial yang selalu dihiasi karya fiksi sepanjang masa. Acara ini telah menjadi fenomena global sejak debutnya tahun 2011 dan suksesnya di dunia perfilman, Trilogi The Lord of The Rings, sebuah literatur klasik.

The Lord of the Rings terpilih pada tahun 1997 sebagai “Buku Abad 20” dan trilogi film asli karya Peter Jackson dinominasikan untuk menerima 30 Academy Awards, memenangkan Best Picture untuk Return of the King, yang pertama (dan hanya) film fiksi yang pernah memenangkan penghargaan itu. Selain itu, total  film Oscar menang di 2004 sebanyak 11, memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh Titanic dan Ben-Hur.

Selain menjadi karya fiksi yang mencapai sukses besar dengan penonton, apa kesamaan lain yang dapat mereka bagikan? Seseorang mengatakan bahwa Game of Thrones akan menjadi The Lord of The Rings berikutnya, menempatkan karya fiksi George R.R. Martin setara dengan J.R.R. Tolkien atau bahkan melampaui beberapa klaim yang sudah ada.

Mari kita lihat beberapa kesamaan dan perbedaan untuk mengetahui apakah Game of Thrones dan The Lord of The Rings dapat bertahan dalam ujian waktu?

Kesamaan:

Kedalaman Cerita 

Salah satu kesamaan yang dimiliki keduanya adalah kedalaman cerita tertentu: para penonton dapat merasakan ada suatu dunia yang lebih luas daripada yang digambarkan. Tolkien adalah seorang master dalam hal ini, ia menghabiskan waktu berjam-jam dan memimpikan sejarah nan kaya dari orang-orang di  Dunia Tengah dan berusaha mengembangkan karakter dari setiap latar cerita. Peran Bilbo, Frodo, Gimli maupun Aragorn semuanya bersumber dari budaya di mana mereka dibesarkan.

Demikian juga dengan Martin yang cenderung terikat dengan‘realisme’. Karakter yang diperlihatkannya dalam  The Seven Kingdoms of Westeros begitu sempurna. Kisah Martin begitu ekspansif, mengambil latar yang sama dengan J. R.R. Tolkien dan Stan Lee.  

Kekuatan Moral 

Kedua epos ini memiliki kekuatan moral yang sama. Dalam The Lord of The Rings, kita lihat bagaimana Boromir, Bilbo, dan Theoden ingin melakukan apa yang benar, sekalipun berlawanan dengan keinginan pribadi mereka dan beberapa orang.

Game of Thrones juga mempunyai karakter tokoh yang ingin melakukan kebaikan meskipun sering berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit. The Starks adalah contoh yang baik, terutama Ned Stark (kebetulan dimainkan oleh Sean Bean, sama dengan karakter Boromir dalam The Lord of the Rings). Dia mencoba untuk menjaga kehormatan saat ia memerintah, tetapi kemudian dipaksa untuk membuat pilihan lain yang terbukti menjadi titik balik bagi masa depan keluarganya.

Korupsi Kekuasaan

Pandangan mengenai Kekuasaan itu cenderung korup merupakan tema umum dari kedua film itu. “Satu Cincin” dianggap memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat di Dunia Tengah, sekalipun dalam kenyataannya terdapat banyak karakter jahat, yang rela melakukan apa saja untuk  mempertahankan kekuasaannya. Denethor dan Saruman adalah contoh yang sempurna.

The Seven Kingdoms of Westeros  begitu terganggu oleh keteguhan daya juang, didorong tidak hanya dengan ambisi, tetapi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup. Hampir semua karakter utama terlibat dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan pengalaman korupsi di berbagai tingkatan. Perjuangan politik antara setiap anggota keluarga merupakan tujuan utama dan menjadi poin penting dalam Game of Thrones. 

Perbedaan:

Penggambaran mengenai seksualitas

Seksualitas dilukiskan secara berbeda oleh keduanya. The Lord of The Rings menjadikan romantisme  sebagai latar cerita dan menekankan kedalaman relasi dan cinta penuh pengorbanan. Di sisi lain, Game of Thrones menawarkan sebuah dunia tanpa batas moral tertentu dimana semua orang tampaknya melakukan hubungan terlarang di luar pernikahan.  Martin mengklaim bahwa ia menambahkan adegan cerita ini untuk membuat “realisme” dalam novel-novelnya, menunjukkan bagaimana seks telah menjadi faktor pendorong dalam sejarah peradaban. Seri HBO mengeksploitasi aspek novelnya ke titik di mana beberapa hal dipertimbangkan dalam apa yang disebut pornografi “lunak”.

Allah vs Roh Jahat

Perbedaan mendasar lain adalah menyangkut perjuangan utama antara yang baik dan yang jahat. Dalam karya Tolkien, ia mematuhi pandangan bahwa yang baik pada akhirnya akan menang dan yang jahat tetap tinggal sebagai yang jahat. Pusat cerita adalah pada bagaimana kelemah- lembutan  dan rendah hati menjadi satu-satunya cara untuk menghancurkan kekuatan jahat. Dibutuhkan tindakan-tindakan kecil, yang memang tidak pernah dilakukan sebelumnya dalam setiap perjuangan, untuk menghancurkan roh jahat yang telah menjangkiti Dunia Tengah selama bertahun-tahun dan tak terhitung jumlahnya. Tentara Gondor seperti Frodo dan Bilbo bisa bisa melakukan apa saja dalam pertualangan mereka.

Di sisi lain, Martin senang memilih untuk melukiskan kejahatan dari sudut pandang lain. “Tidak ada orang jahat” yang mudah untuk diidentifikasi. Ia sangat menyukai karakter ‘abu-abu’ dan tidak pernah menyukai pandangan bahwa pada akhirnya yang menang adalah yang baik. Ia pikir hal itu tidak terlalu realistis.

Kesimpulan 

Meskipun kedua penulis ini memiliki latar belakang sebagai orang Katolik (saat ini Martin menyebut dirinya sebagai seorang agnostik), Tolkien lebih memilih untuk menulis cerita yang menyatukan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Sedangkan Martin memutuskan untuk menyingkirkan segala hal yang bersifat transendental (yang Ilahi). Misalnya saja, soal keindahan, ia memisahkannya dari kebenaran dan kebaikan dan dapat diobjektivasi seperti seksualitas dalam Westeros. Seks merupakan aspek yang baik dan indah dari hidup, tetapi di luar kebenaran itu, seks tidak dapat disatukan dengan kebenaran dan kebaikan.

Pada akhirnya, tampak bahwa Game of Thrones lebih berhasil menginspirasi setiap orang, setiap generasi. Martin tentu mampu membawa “realisme” ke dalam dunia, tapi satu yang perlu disoroti adalah bahwa dibutuhkan sebuah tindakan penebusan. Tolkien, untuk bagian itu, tahu bahwa kegelapan apa pun yang ada di dunia, itu hanyalah “bayangan yang berlalu.”  Dunia Tengah menarik perhatian kita untuk membangun sebuah harapan di masa depan, mengetahui bahwa  penderitaan hari-hari ini akan berakhir dan  bahwa  kebaikan akan menang. Itu adalah cerita yang akan selalu kita dengar setiap waktu.(Philp Koslosky, Aleteia.org)

Penerjemah: John Laba Wujon

Foto: lotr.wikia.com