Bahtera Terancam Karam:
Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan
Negara Kesatuan Indonesia
Oleh Dr Alexander Jebadu SVD
Buku Bahatera Terancam Karam diterbitkan oleh Penerbit Ledalero, Maumere 2018 (350 halaman). Ia merupakan satu dari tiga seri buku dan merupakan penerbitan bahasa Indonesia dari disertasi doktoral saya pada Universitas Kepausan Urbaniana Fakultas Misiologi Roma-Italia (Oktober 2011 – Februari 2014) yang berjudul The Impact of Ecological Exploitation on People and Nature: A Missiological Investigation on Extractive Industry with a Case Study in Flores Island-Indonesia (Dampak dari Eksploitasi Ekologis Terhadap Manusia dan Alam Ciptaan: Sebuah Investigasi Misiologis Terhadap Industri Pertambangan dengan Sebuah Studi Kasus di Pulau Flores-Indonesia). Disertasi ini terdiri atas 556 halaman dan 242.094 kata. Itu artinya, ini merupakan sebuah karya ilmiah cukup panjang.
Sejak tahun 2015, bahan ini telah dijadikan sebagai salah satu matakuliah yang sangat disukai oleh para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur dan dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama adalah pengantar yang mempresentasikan lima masalah pokok kehidupan sosial ekonomi dan politik Indonesia sejak masa kepemerintahan era Orde Lama hingga era Reformasi sekarang ini. Salah satu di antaranya adalah masalah industri pertambangan yang sangat meresahkan warga petani desa di seluruh pelosok Indonesia sebagai salah satu by-product (sebuah hasil atau keluaran yang tak diinginkan atau tak direncanakan) dari reformasi politik dan sistem kepemerintahan Indonesia sejak tahun tahun 1998. By-product ini tidak pernah dibayangkan oleh kebanyakan warga masyarakat Indonesia sebelumnya.
Khususnya di Flores, industri pertambangan yang penuh dengan manipulasi data, penuh dengan pembohongan dan praktek tak terpuji telah mendapat perlawanan yang gigih dari warga masyarakat petani desa. Perlawanan masyarakat desa ini telah didukung oleh karya misi pembebasan Gereja Katolik dalam kerjasama dengan agama-agama lain seperti Gereja Kristen Protestan dan agama Islam, sejumlah LSM seperti Jaringan Advokasi Pertambangan Indonesia (JATAM), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Institute of ECOSOC (Economic, Social and Cultural) Rights, pelbagai organisasi masyarakat dan organisasi mahasiswa di kota-kota seluruh Pulau Flores. Setelah diterbikan dalam bentuk buku, bagian pertama ini diberi judul Bahtera Terancam Karam:Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagian kedua adalah presentasi sebuah kekuatan yang menjadi protagonist dari kemelut industri pertambangan bermasalah yang didemonstrasikan pada bagian pertama, yang pada intinya mengenai sebuah exploitasi sangat masif terhadap manusia dan alam lingkungannya. Protagnists yang dimaksudkan itu adalah korporasi-korporasi swasta nasional dan swasta transnasional dan sistem ekonomi kapitalis neoliberal atau sistem ekonomi pasar bebas tanpa kendali. Kami berargumentasi bahwa fenomena peningkatan ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan transnasional – yang mengeksploitasi mineral dengan secara brutal menghancurkan lahan-lahan pertanian warga masyarakat miskin di daerah pedesaan di Flores dan di seluruh pelosok Indonesia maupun di negara-negara berkembang lainnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin – merupakan bagian dari sebuah proyek ekonomi yang lebih besar yang dirancang dan dikendalikan oleh segelintir orang superkaya di negara-negara industri saat ini.
Instrumen yang mereka gunakan adalah lembaga-lembaga keuangan internasional – Bank Dunia dan IMF – dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO), yang telah dirasuki (bukan dijiwai) dan didorong oleh sebuah ideologi ekonomi yang sangat ekstrim yaitu kapitalisme neoliberal. Dalam prosesnya, para pendukung sistem ekonomi ini telah mempropagandakan, bahkan hingga batas tertentu, telah secara sembunyi-sembunyi alias secara rahasia atau licik memaksakan ekonomi pasar dan perdagangan bebas tanpa kendali ini di seluruh dunia. Lalu pada saat yang sama mereka telah mengirim kaki tangan atau calo-calo (brokers) mereka – yaitu perusahaan-perusahaan swasta transnasional – untuk mengeksploitasi masyarakat dunia dan sumber-sumber daya alam mereka tanpa ampun. Bertolak dari fakta ini, kami lalu berargumentasi bahwa usaha penyelamatan lingkungan hidup dan bersikap solider dengan orang-orang miskin di Flores khususnya dan di Indonesia pada umumnya tidak akan bisa dipahami dan tidak bisa dilakukan dengan baik tanpa memahami dan sekaligus mengkonfrontasi kedua protagonist utama ini, yaitu korporasi transnasional dan sistem ekonomi tak adil kapitalisme neoliberal. Bagian ini akan diterbitkan dengan judul Mafia Perusahaan dan Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali: Membongkar Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba
Bagian ketiga adalah tanggapan profetis misi pembebasan Gereja Katolik bagi semua umat manusia, apapun bangsa, agama, ras dan sukunya, dan alam lingkungan sebagai rumah bersama seluruh umat manusia berserta seluruh peradabannnya. Menurut Ajaran Sosial Gereja Katolik, Gereja mempunyai hak dan sekaligus kewajiban hakiki untuk ikut mengayomi tatanan dunia yang lebih baik demi kebaikan seluruh umat manusia sebagai satu keluarga dan demi keutuhan alam ciptaan di planet bumi sebagai rumahnya bersama, apapun suku, agama dan bangsanya. Salah satu bentuk misi pembebasan Gereja itu adalah membela dan mempertahankan martabat luhur pribadi manusia termasuk secara khusus orang-orang miskin dan terpinggirkan (option for the poor) yang tidak bisa dikorbankan begitu saja termasuk demi pembangunan itu sendiri dan mempromosikan keutuhan alam ciptaan (option for creation). Tentang misi profetis yang membebaskan ini, Gereja Katolik percaya dan, berdasarkan kepercayaan itu, mengklaim bahwa apa yang dilakukannya ini merupakan sebuah amanah alias mandat yang diterima dari Allah dan merupakan sebuah bentuk pengambilan bagian sekaligus penerusan dari karya pembebasan yang dilakukan oleh Allah sendiri (Missio Dei atau the Mission of God).
Sejak revolusi industri di Eropa pada abad ke 17, – yang kemudian melahirkan sebuah sistem ekonomi tidak adil dalam bentuk kapitalisme liberal alias ekonomi pasar bebas dan usaha ekonomi manusia yang berbentuk korporasi sebagai instrumen dan sekaligus eksekutornya, – hingga teori pembangunan (theory of development) yang digulirkan pada tahun 1950-an, Gereja Katolik tidak pernah tinggal diam. Gereja Katolik, sejak penerbitan Ensiklik Rerum Novarum (tentang Modal dan Kaum Buruh) dari Paus Leo XXIII (1891) hingga Ensiklik Laudato Si (tentang Krisis Ekologi) dari Paus Fransiskus (2016), telah tanpa kenal lelah menyuarakan kritikan kenabiannya terhadap pelbagai bentuk kekerasan (violence) dan ketidakadilan pembangunan model kapitalistik (the injustice of capitalistic model of development). Pada saat yang sama, Gereja Katolik tak pernah bertehenti mendorong alternatif-alternatif lain yang lebih baik, lebih etis, lebih adil, lebih solider, lebih demokratis, lebih manusiawi dan lebih ramah terhadap alam ciptaan. Terbitan bagian ketiga ini diberi judul Pembangunan yang Autentik: Kritik Kenabian Gereja Terhadap Kekejaman Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali.
Buku bagian pertama, yang yang diberit judul Bahtera Terancam Karam, mengekplorasi lima masalah sosial ekonomi dan politik yang menantang negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah pertama adalah kesenjangan yang semakin lebar antara segelintir orang super kaya dan mayoritas warga masyarakat miskin di Indonesia. Bisa dilihat secara kasat mata. Infrastruktur di kelima pulau besar Indonesia – Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulewesi dan Papua Barat – misalnya secara umum masih sangat memprihatinkan. Mayoritas penduduk dari 17.000 pulau di Nusantara hidup sebagai petani-petani miskin, sementara kekayaan rahim alamnya yang berlimpah ruah telah diexploitasi secara masif selama ratusan tahun.
Sejak merdeka dari eksploitasi penjajah Belanda pada tahun 1945 hingga saat ini, ekonomi Indonesia telah hanya menguntung segelintir orang kaya yang dikeruk malalui korporasi-korporasi mereka baik korporasi swasta nasional maupun swasta transnasional. Setiap politisi RI atau setiap jenderal berbintang didesas-desus memiliki belasan perusahaan dan mengakuisisi puluhan hingga ratusan hektar lahan di Sumatera, Kalimantan, Papua dan bahkan hingga pulau kecil seperti Bali atau Flores. Kalau Indonesia memiliki 1000 politisi dan 1000 jenderal berbintang dan masing-masing mereka berlomba-lomba memiliki belasan perusahaan dan akuisisi sekian ratus lahan baru di republik ini, sulit dibayangkan nasib 250 juta rakyat Indonesia lainnya yang bukan jenderal dan bukan politisi. Di atas kelimpahan kekayaan alam nusantara dari Sabang hingga Marauke, lima puluh persen rakyat Indonesia masih hidup di bawah $2.00 sehari. Mereka ibarat ayam tinggal di lumbung padi mati kelaparan.
Masalah kedua adalah urbanisasi dan kesenjangan pembangunan regional. Biasanya penduduk negara-negara industri cenderung untuk terkonsentasi hidup di wilayah perkotaan. Alasannya jelas. Aktivitas industri biasanya lebih banyak beroperasi di kota-kota atau di sekitar wilayah kota. Sedangkan di negara-negara agraris di mana sebagian besar warga masyarakatnya adalah petani, maka mayoritas penduduknya secara alamiah seharusnya lebih terkonsentrasi hidup di daerah pedesaan. Tapi tampaknya Indonesia tidak mengikuti pola ini. Meskipun masuk dalam kategori sebagai negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, fakta menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota ketimbang di daerah pedesaan. Dan lebih aneh lagi, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saat ini, 60 persen hidup di Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari total wilayah daratan seluruh Indonesia. Urbanisasi ini antara lain disebabkan oleh pembangunan Indonesia selama ini yang cenderung terpusat di kota-kota dan di Pulau Jawa saja. Kami berargumentasi, peningkatan perusakan lahan pertanian dari petani desa di seluruh Indonesia oleh industri pertambangan yang serampangan akan memperburuk proses urbanisasi di Indonesia dan pemadatan penduduk Pulau Jawa.
Masalah ketiga adalah korupsi publik yang semakin masif, bandel, berjemaah dan ikut terdesentralisasi. Korupsi menodai hampir semua sektor kehidupan di Indonesia. Lembaga-lembaga yang diindentifikasi sebagai yang paling korup adalah kepolisian, sistem peradilan, pemerintah dari pusat hingga desa dan DPR bersama partai-partai politik sebagai kuda tunggangan mereka. Semakin diberantas, korupsi malah semakin merajalela. Menurut hasil sebuah penelitian, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada tahun 2002 hingga tahun 2012, baru lima persen dari lautan masalah korupsi di Indonesia yang sudah berhasil diproseskan secara hukum oleh KPK dan para pelakunya dijebloskan ke dalam kandang penjara. Sehubungan dengan hal ini, kami berargumentasi bahwa expansi industri pertambangan di seluruh Indonesia pada era otonomi daerah sekarang ini yang penuh dengan manipulasi dan pembohongan, kalau tidak dihentikan, akan menjadi the new breeding ground for public corruption atau menjadi lahan baru bagi praktek korupsi publik.
Masalah keempat adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang masih tinggi. Kendatipun sejak lahir tahun 1945 mengklaim diri sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum, konsitusinya – UUD45 – misalnya memuat dan sekaligus melindungi sejumlah unsur utama hak-hak asasi manusia (HAM) dan telah ikut meratifikasi 10 dari 14 kovenan HAM PBB, Indonesia hingga hari ini tetap menjadi salah satu negara pelanggar HAM paling berat di dunia. Khususnya di era otonomi daerah ini, jenis pelanggaran HAM yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah pelanggaran HAM yang berhubungan dengan konflik atas sumber-sumber kekayaan alam di desa-desa. Anehnya, pelaku utama dari pelanggaran HAM ini justeru perangkat negara seperti aparat kepolisian, aparat militer, para politisi dan pemerintah daerah dalam kerjasama dengan korporasi.
Masalah kelima adalah invasi perusahaan transnasional di bidang pertambangan yang semakin meningkat sejak era otonomi daerah. Hampir tak terbilang banyaknya peristiwa protest warga masyarakat desa di daerah-daerah kabupaten di seluruh Indonesia melawan korporasi transnasional di bidang pertambangan yang tanpa ampun menyeruduk lahan-lahan pertanian mereka tanpa restu mereka sebagai pemilik tanah. Lebih tak dimengerti lagi, pemerintah daerah, polisi dan militer yang seharusnya ada untuk melindungi hak-hak sosial dan sumber ekonomi rakyat Indonesia justeru berdiri di pihak korporasi transnasional dan dengan senjata melindungi perusahaan transnasional untuk mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi warga masyarakat desa dengan menggusur lahan-lahan pertanian mereka.
Tak pelak lagi, ini merupakan sebuah skandal terhadap tujuan negara Republik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1945 dan sebuah tindakan pengkianatan terhadap Pancasial dan UUD45. Padahal tujuan utama 200-an suku bangsa di kepulauan Nusantara bersepakat untuk bersatu menjadi satu negara, satu tanah air dan satu bangsa pada tahun 1945 adalah untuk bersama-sama melindungi hak-hak sosial dan sumber-ssumber ekonomi mereka dari exploitasi sewenang-wenang oleh bangsa asing dan bersama-sama mengejar keadilan sosial-ekonomi dan kesejahteraan baik lahir maupun batin. Tindakan aparat keamanan, pemerintah daerah dan para politisi Indonesia yang membantu perusahaan-perusahaan asing untuk merangsek sumber-sumber ekonomi warga masyarakat desa di seluruh Indonesia tanpa restu dari mereka dan tindakan menghalau mereka dari tanah-tanah milik mereka jelas-jelas merupakan tindakan jahat melawan hakikat kehidupan berbangsa dari negara Republik Indonesia sejak 1945 yang dimeterai oleh UUD45 dan Pancasila.
Selanjutnya buku ini mempresentasikan secara panjang lebar sepak terjang industri pertambangan bermasalah di Flores oleh korporasi transnasional sejak otonomi daerah bergulir pada tahun 1999 sebagai sebuah contoh kasus. Setelah “membeli” para politisi dan pemerintah daerah, korporasi-korporasi transnasional mengeksploitasi mineral dengan tanpa kenal ampun menghancurkan sisa-sisa kecil hutan lindung dan lahan-lahan pertanian – sawah, ladang, kebun kopi, cengkeh, kemiri etc – dari para petani miskin di desa-desa tanpa persetujuan mereka sebagai pemilik tanah, dengan kompensasi yang sangat minim dan bahkan sekian sering tanpa kompensasi sama sekali dan tanpa analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai.
Setelah diteliti dengan cermat, industri pertambangan yang semena-mena ini berhubungan erat dengan kekuasaan korporatokrasi sejak lama (the long hidden claws of corporatocracy) dan mahalnya biaya desentralisasi kepemerintahan (the unexpected cost of governmental decentralization) seperti biaya pemekaran daerah yang mahal, kemandirian keuangan daerah dan mahalnya kambanye politik dan pemilihan langsung. Korporasi pertambangan baik nasional maupun transnasional disinyalir telah menjadi ATM dari biaya mahal desentralisasi ini dan sebagai imbalannya korporasi-korporasi transnasional diberi ruang untuk mengeksploitasi mineral-mineral yang hampir semuanya berada di lahan-lahan pertanian masyarakat atau di sisa-sisa hutan lindung.
Kami berargumentasi bahwa industri pertambangan yang merajalela dengan cara kejam seperti ini di desa-desa di Flores maupun di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, pertama-tama, hanya akan memperburuk kesenjangan yang sudah sangat lebar antara segelindir orang kaya dan mayoritas orang miskin di Indonesia. Industri extraktif ini hanya akan memperkaya segelitir elite politik dan korporasi transnasional sebagai partner perselingkungan kepentingan pribadi mereka dan akan semakin mempermiskin warga masyarakat miskin di pedesaan dan menghancurkan sumber-sumber hidup mereka – alam lingkungan. Kedua, kerusakaan permanen lahan-lahan pertanian mereka akan membuat komunitas-komunitas warga desa miskin ini punah atau mereka akan memaksa diri untuk bermigrasi ke wilayah perkotaan, yang pada gilirannya meningkatkan proses urbanisasi di seluruh negara agraris Indonesia. Ketiga, industri ini juga memperburuk korupsi publik yang sudah lama menjadi kanker bangsa dan meningkatkan pelanggaran HAM di Indonesia. Jika tidak cepat ditangani secara bijaksana, maka kelima masalah di atas akan memicu pelbagai krisis sosial, ekonomi dan politik yang sangat serius yang pada gilirannya bisa membahayakan eksistensi kesatuan negara Republik Indonesia yang berdiri di atas Pancasila dan UUD45.
Masyarakat petani miskin di desa-desa di Flores, setelah menyadari bahaya yang mengancam diri mereka dan sekaligus eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia, telah bangkit berdiri mempertahankan hak-hak mereka atas lahan-lahan pertanian sebagai sumber hidup dan melawan korporasi-korporasi transnasional di bidang industri pertambangan dan pemerintah daerah yang telah bersengkongkol dengan mereka. Perjuangan mereka telah didukung oleh Gereja Katolik sebagai perwujudan dari misi pembebasan yang diterimanya dari Allah dalam kerjasama dengan berbagai organisasi-organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan agama-agama lain. Kami berargumentasi bahwa gerakan perlawanan masyarakat petani miskin di desa-desa di Flores ini, yang didukung oleh misi pembebasan Gereja Katolik, organisasi-organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan agama-agama lain, sama dengan perjuangan mulia untuk membela dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dari bahaya karam kalau bukan tenggelam.
Negara kesatuan Republik Indonesia, yang hakikat dan tujuannya terpatri dalam falsafah Pancasila dan UUD45, akan terancam karam bila cita-citanya untuk melindungi hak-hak ekonomi rakyat dan cita-cita keadilan sosial yang diusungnya semakin jauh panggang dari api. Kita berharap, perjuangan masyarakat petani desa di Flores yang didukung oleh misi pembebasan Gereja Katolik di wilayah ini bisa menjadi pemantik yang membangkitkan api kenabian yang sama dalam diri Anda untuk berjuang membela hak-hak hidup para petani di daerah pedesaan di seluruh Indonesia, yang dimulai di daerah Anda sendiri, demi kesejahteraan, keadilan, kerukunan, dan persaudaraan seluruh rakyat negara kesatuan Republik Indonesia apapun agama, suku dan ras Anda, dan demi keutuhan alam ciptaan planet bumi di seluruh tanah air Indonesia. Selamat membaca buku Bahtera Terancam Karam. Mari kita bangkit merdeka!@
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019