DATA menunjukkan 90 persen hoaks atau berita palsu ada di media sosial. Mengapa? Karena pada umumnya para mania hoaks membuat berita palsu karena tidak tahu apa yang bisa dikerjakan di media ini. Sementara hampir seluruh waktu habis hanya untuk gaul di media sosial.
“Oleh karena nanti adik-adik akan kita ajari cara membuat meme, vlog, video dan konten kreatif lainnya. Diajari bagaimana membuat foto yang indah, supaya, adik-adik tetap asik bermedia sosial”, kata Direktur Pengelolaan dan Penyediaan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selamatta Sembiring, dalam acara Literasi Media di Keuskupan Palangka Raya, Jumat (11/5).
Selamatta menyebut, hoaks terjadi karena jari kita lebih lincah daripada otak kita. Kebiasaan membagikan sebuah berita atau foto tanpa verifikasi sumber dan keasliannya membuat berita-berita bohong dan palsu semakin cepat tersebar di media sosial. “Hoaks itu misteri. tidak ada sumbernya. Jadi seperti kabar jadi-jadian. Munculnya secara tiba-tiba.”ungkapnya
Karena itu, setiap menerima informasi, sebaiknya disaring dulu sebelum sharing. “Jangan sampai jari-jemari kita lebih lincah dari otak kita. Kita harus menjadi generasi yang positive thinking atau Genposting,”tegas Selamatta.
Sementara itu Rulli Nasrullah atau yang akrab dipanggil Kang Arul menyebutkan, hoaks terjadi karena kita sendiri terbiasa membuat hoaks. Pria berdarah Sunda ini lalu bertanya pada peserta sambil menunjukkan sebuah gambar postingan di salah satu akun media sosial. Dalam gambar tersebut terlihat selang infus yang tertancap di tangan seseorang, dibubuhi keterangan satu kalimat di atas foto tersebut.
“Teman-teman jujur siapa di sini yang pernah memosting gambar seperti ini?” tanya Arul, yang sontak membuat peserta riuh. Ada yang tertawa, ada yang malu-malu tunjuk tangan.
“Hoaks terjadi karena kita terbiasa memproduksinya. Teman-teman pernah sakit kan, pasti ada yang pernah memotret seperti ini lalu posting ke Instragram atau Facebook? Saya tanya untuk apa ya? Apa tujuannya? Apakah supaya orang lain mengasihi kita lalu membayar biaya rumah sakit gitu?”tanya pria yang telah menjadi blogger sejak 1998.
Menurutnya hoaks terbesar yang kita lakukan adalah saat selfie.
“Kita pasti punya kebiasaan sepuluh kali selfie, tapi hanya akan mengambil satu gambar yang menurut kita bagus yang membuat kita terlihat lebih cantik, lebih ganteng. Lalu ketika kita merasa bagus maka posisi atau pose foto seperti itu akan dipatenkan. Akan selalu memilih pose tersebut supaya selalu terlihat cantik atau ganteng. Lihat fotonya sih cantik gitu, ganteng, tapi begitu copy darat, ternyata biasa aja. Ini artinya kita sudah membuat hoaks di media sosial kan?” tanya Arul.
Praktisi di bidang Public Relation, Tim Komsos KWI