“GENERASI muda sekarang bila punya pertanyaan, akan bertanya kepada siapa?” tanya Errol Jonathans kepada peserta pelatihan public speaking Keuskupan Denpasar. Serentak terdengar nama sebuah search engine terkemuka. “Nah, mereka tidak lagi bertanya kepada kita kan?”
Dilatarbelakangi gap modernisasi semacam ini, Gereja Katolik juga perlu bertindak, terutama katekis dan pewarta selaku ujung tombak Gereja. Perlu dihindari para pewarta yang ketinggalan cara kreatif dan cerdas menyampaikan Firman Allah.
Dari analisis Komsos KWI, setidaknya ada lima alasan pentingnya Gereja untuk belajar public speaking:
1. Kompetensi public speaking pewarta yang perlu disegarkan: entah dengan teknik yang baru, cara yang unik, supaya tidak membosankan.
2. Target khalayak yang heterogen: dalam kesempatan tertentu, perlu diadakan segmentasi supaya komunikasi menjadi efektif.
3. Harapan mutu public speaking pewarta meningkat: apalagi bila pendengarnya adalah kaum yang cukup berpendidikan atau yang berstatus sosial tinggi.
4. Perubahan cakrawala komunikasi khalayak dan umat: kemajuan teknologi membuat referensi khalayak terus bertambah.
5. Tuntutan aktualisasi standar public speaking: standar khalayak yang meningkat sehingga Gereja jangan sampai ketinggalan.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.