Bermisi di tanah Papua bukan tugas yang mudah. “Jangankan tugasnya, perjalanannya saja sudah menantang.” Setidaknya itulah yang terlintas di pikiran ketika menempuh rangkaian perjalanan ini. Hampir 5000 km dan 17 jam dari Jakarta, inilah langkah-langkah kami menuju keuskupan provinsi gerejani Indonesia yang paling ‘sulit’ untuk ditempuh, Keuskupan Agats-Asmat.
Kamis, 4 April 2019 (CGK-DPS)
Kami berkumpul di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul 18.00 WIB. Masih ada waktu untuk ‘mengambil napas’. Menjelang pukul 20.30, panggilan bagi penumpang menuju “Tembagapura/Timika” (Demikian tercetak di tiket kami) menggaung. Bergegaslah kami ke pesawat yang kursi penumpangnya -pada malam itu- tidak terisi penuh. Sejumlah turbulensi terjadi, membuat beberapa penumpang wanita melengking. Sesekali, terlihat aliran petir dari jendela pesawat. “Pasti tiba dengan selamat. Amin.”
Untuk mencapai tanah Papua, pesawat terlebih dulu mengantar jemput penumpang di Bali. Ini titik singgah pertama kami, tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada 00.30 WITA.
Jumat, 5 April 2019 (DPS-TIM)
Hanya beberapa dari penumpang yang menghampiri petugas transit; yang lain memang bertujuan ke Bali. Keheningan bandara menemani kami yang agak sempoyongan karena ‘tidur ayam’ di penerbangan tadi. Tidak banyak penumpang berlalu lalang di daerah bandara, bahkan hampir tidak ada; mereka sudah duduk manis di gerbang keberangkatan masing-masing. Setelah 60 menit, kami kembali masuk ke pesawat, duduk di bangku yang sama, dengan komposisi kiri-kanan-depan-belakang yang berbeda.
“Penerbangan dari Denpasar menuju Timika akan ditempuh dalam 3 jam dan 19 menit..” ujar pramugari lewat interkom. Hujan besar turun, membuat kami belum cukup tenang; perjalanan masih jauh.
*
Suara kapten mengumumkan persiapan mendarat, membangunkan kami. Cahaya mentari masuk menusuk ke seluruh kabin. Saat menengok ke luar jendela, pemandangan bumi Papua menyambut kami. Kiri kanan kami lihat saja, banyak kawanan gunung; persis barisan tentara yang tidak memberi celah sama sekali di antara mereka. Tentara-tentara itu juga membawa selendang awan yang seolah memisahkan mereka dari tanah. Tabir awan juga menghampar di tepi kehijauan, menyegarkan kepala pusing karena kurang istirahat. Pendaratan pun berlangsung mulus. Terima kasih Tuhan, terima kasih Papua.
Jumat, 5 April 2019 (TIM-EWE)
Selesai mendarat, kami dijemput sebuah truk yang dimodifikasi menjadi bis penumpang; bagian supir dan penumpang terpisah seperti petikemas. Bagasi kami ambil, melaju ke bagian penjemputan. Disitulah kami dijemput Pak Amir, seorang yang sudah disiapkan untuk membantu lanjutan perjalanan kami ke Asmat. Waktu menunjukkan 07.15 WIT.
“Inilah kota Timika, tidak besar,” tukas Pak Amir yang membawa kami berkeliling sebentar di Kota Emas. Pelan-pelan kami memeriksa apakah Timika seperti kota-kota lain di Pulau Jawa. Sudah ada banyak bank, ATM, restoran waralaba internasional, dan banyak kendaraan! “Plat kendaraan di sini dulunya diawali kode “DS”. Sekarang sudah diperbarui menjadi “PA”,” jawab Pak Amir dari tanya kami.
Sekitar pukul 08.30 WIT, kami tiba di kantor maskapai yang melayani penerbangan ke Asmat. “Di sini tempat check-in-nya,” jelas Pak Amir. Di lantai bawah ruko tersebut, kami mendaftarkan diri ulang sebagai penumpang. Rute-rute untuk daerah pegunungan dan pedalaman Papua belum bisa dijangkau pesawat komersial umumnya.
Bila yang lain memakai Boeing, Airbus, Bombardier, atau ATR, kami akan terbang ke Agats menggunakan Twin Otter Series 400, kapasitas 17 orang; pesawat capung. Ada beberapa maskapai swasta semacam ini yang melayani rute perintis. Selain Ewer (nama bandara Agats), tujuan lain seperti Ilaga, Sinak, Sugapa, Beoga, Kenyam, Mulia, Enarotali, Waghete, dan Ilu, juga sementara baru bisa dicapai lewat jasa maskapai-maskapai ini.
Uniknya, bukan hanya bagasi, tapi diri kami serta bawaan kecil lain juga harus ditimbang. “Timbang dulu,” kata seorang petugas. Saat hendak meletakkan ransel kami, petugas segera melanjutkan, “Tidak, bersama dengan Mas juga.” Seperti anak kecil yang penasaran akan berat badannya, begitu juga kami, lengkap dengan ransel yang kami pikul.”Ini beratnya lebih, ada biaya tambahan.” Setiap penumpang diberi jatah 85 kg, termasuk segala bawaannya.
Segala ke-lain-an ini diperlukan untuk memastikan semua sesuai dengan standar keamanan pesawat perintis. Setelah membayar tunai harga tiket dan meninggalkan bagasi di situ, kembalilah kami ke Bandara Mozes Kilangin; kali ini bukan ke bagian bandara pesawat komersial nasional, tapi ke pojok lain bandara; khusus rute-rute perintis. Inilah bandara binaan Pemda setempat yang masih dalam proses pembangunan. Di situ, kami menunggu 2 jam, waktu akhirnya menunjukkan 12.00 WIT.
Petugas mempersilakan kami naik ke pesawat. Tidak seperti suasana bandara pada umumnya, dari keluar bandara sampai pesawat tidak ada suara bising pesawat; Mesin baru dinyalakan persis menjelang keberangkatan. Kami bebas memilih tempat duduk yang formasinya 1-2 itu. Tetap ada sabuk keselamatan, lampu baca, dan “AC” di tiap tepi baris kursi. Yang memisahkan pilot dan penumpang hanya tirai, dan yang pasti, tidak ada kakus.
Janggal rasanya ketika dari lepas landas sampai mendarat, kami masih bisa melihat jelas apa yang ada di bawah. Angin -yang sepertinya datang dari luar langsung- setia berhembus di bagian kaki penumpang ketika melayang. Pendaratan pesawat kami sudah tergolong lancar meski bunyi gesekan pertama ban dengan aspal tidak terhindarkan. Setelah 60 menit, sampailah kami di Ewer, Asmat.
Setelah petugas mengoleksi dan membawa bagasi penumpang ke titik kumpul, setiap orang bergegas mengambil miliknya sendiri, tidak ada lagi petugas yang memeriksa keabsahan hak milik. Kami lalu menenteng bawaan masing-masing menyusuri papan setapak (karena bagasi seperti koper tidak bisa ditarik), sampai di pelabuhan mini. Perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal cepat untuk ke kota kabupaten Agats.
Menyusuri sungai dan setengah laut itu selama 20 menit, kami tiba di kota Agats dengan pakaian yang agak basah (karena cipratan air selama perjalanan). Bagi kami yang baru pertama, beranjak dari kapal menuju daratan menjadi tantangan karena kami harus mengambil langkah agak tinggi dari kapal yang bergoyang, sambil membawa bagasi.
Suasana setengah-kota-setengah-desa langsung terasa. Aktivitas warga setempat yang melaju sana-sini menggunakan sepeda motor listrik meramaikan hari-hari di Asmat. Minimnya akses BBM membuat warga sekitar memilih kendaraan jenis ini. Pejalan kaki pun harus berhati-hati -supaya tidak tertabrak- karena motor ini mengeluarkan suara yang sangat halus -hampir tidak terdengar- dibanding motor bertenaga bensin.
Kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan yang dibuat -juga- dengan papan kayu. Di kiri kanan kami, rumah warga dibangun model panggung; menghindari sama sekali bangunan yang langsung di atas tanah, karena sebagian besar permukaan kota Asmat adalah rawa-rawa dan tanah lembap.
Tidak seperti yang kami perkirakan sebelumnya, kota kabupaten ini tidak ketinggalan maju; bahkan sudah sangat maju. Rumah-rumah dihiasi parabola, terdapat sejumlah rumah makan, kafe, hotel, termasuk sinyal telepon internet 4G, juga tersedia.
10 menit kami melintasi papan-papan yang kadang berbunyi karena kurang rapat, tibalah kami di Hotel Sang Surya, hotel milik Keuskupan Agats-Asmat. Di sinilah kami langsung merebahkan diri, sambil bersyukur karena perjalanan ini sudah selesai. Ada listrik untuk cas HP, AC, kasur empuk, WC duduk, kami langsung tidur…
Kontak Keuskupan Agats-Asmat:
Baca juga:
“Warkop” Audio Visual, Umat Agats-Asmat Hasilkan Puluhan Video
Apakah Gaya Audio Visual Cocok untuk Pastoral di Agats-Asmat?
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.