DALAM retret yang saya pimpin, Sr. Rosa OSCCap, Abdis (Pemimpin) Biara kontemplatif Providentia Singkawang, bersharing bahwa ketika beliau mau masuk biara itu, penghuninya tinggal lima suster. Pastor pembimbingnya malah menyarankan: “Kamu tidak usah masuk ke situ, biara itu sudah mau tutup. Nanti kalau kelima suster itu sudah pulang ke Belanda dan sudah mati semua, kamu tinggal sendirian. Kasihan kamu. Kamu akan susah di situ!”
Mungkin nasihat pastor pembimbing itu tampak bijaksana, rasional dan realistis. Gadis siapa yang mau masuk biara konteplatif yang tidak boleh keluar dan harus selalu tinggal di dalam dan berdoa seumur hidup? Ia bisa mati berdiri!
Tetapi karena Sr. Rosa memang ingin menjadi suster kontemplatif dan jiwanya terpanggil oleh Tuhan untuk ke situ, maka dengan pendek beliau menjawab kepada pastor pembimbingnya: “Biar saya masuk saja Pastor, nanti kalau biara itu memang sudah tutup, baru saya keluar.”
Akhirnya Sr. Rosa masuk. Sekarang umurnya sudah hampir 70 tahun dan menjadi Abdis atau pemimpin Biara Providentia, Singkawang.
Sekarang ini Biara Kontemplatif Singkawang tidak jadi tutup. Penghuninya justru banyak. Rupanya Tuhan tidak sependapat dengan pastor pembimbing Sr. Rosa tadi. Banyak yang masih muda-muda. Biara kontemplatif idealnya hanya 20 orang satu komunitas.
Makin ramai
Kalau lebih dari itu, sudah akan ramai dan kurang bagus. Dan ternyata karena Penyelenggaraan Ilahi juga (providentia divina), Biara Kontemplatif Singkawang yang semula sudah mau tutup itu, ternyata kini justru membuka dua cabang.
Yang satu di Bejabang dan di tengah hutan yang jaraknya naik bus dari Singkawang dua malam dan satu siang. Cabang satunya lagi di Sarikan, sekitar 3-4 jam dari Singkawang arah Pontianak. Saya juga sempat singgah di biara ini.
Di Biara Sarikan ini ada delapan Suster dan di Bejabang ada enam suster. Coba lihat, jumlah anggota di cabangnya saja masih lebih besar dari Biara Induk yang hanya lima orang dan dianggap akan segera tutup itu.
Penyelenggaraan Tuhan itu sungguh luar biasa. Saya tinggal satu pekan bersama mereka, saya belajar untuk beriman kepada Tuhan. Saya diajari untuk sungguh percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh ada dan Tuhan menyelenggarakan kehidupan setiap orang.
Hanya Tuhan sendirilah yang tahu mengapa orang ini mengalami begini dan orang itu mengalami begitu. Pengalaman penderitaan dari banyak manusia sering membuat kita meragukan Tuhan. Tetapi siapakah kita sehingga berani berfikir demikian? Apakah kita mengerti alasannya dengan lebih baik daripada Tuhan sendiri?
Apalagi manusia memang memiliki kebebasan yang bisa menentukan sendiri apa yang akan dilakukannya. Dan Tuhan toh tetap mampu melaksanakan kebaikan dari kejahatan manusia.
Contoh yang paling jelas adalah ketika Jusuf dijual ke Mesir oleh kakak-kakaknya yang jahat, ternyata kemudian menjadi sarana keselamatan bagi saudara-saudaranya itu dari mati kelaparan.
Contoh kedua ialah Naomi dari Kitab Rut.
Naomi dari Betlehem itu mengungsi ke Tanah Moab (tanah asing) karena kelaparan bersama dengan suaminya Elimelekh dan dua anak laki-lakinya. Tetapi ternyata tiga laki-laki yang dicintainya itu mati semua di Tanah Moab. Naomi pulang dengan tangan kosong, dan Rut sang menantu yang baik itu rela menemaninya pulang ke Betlehem.
Namun siapa sangka bahwa penderitaan Naomi itu ternyata menjadi jalan bagi Tuhan untuk mendatangkan Yesus Sang Juruselamat. Karena Rut yang sudah janda dan berasal dari Moab itu menikah dengan Boas, dan mereka melahirkan Obet dan Obet melahirkan Isai. Yesus disebut Tunggul Isai.
Dan contoh ketiga adalah kejatahan manusia yang menyalibkan Yesus, dipakai oleh Allah untuk menyelamatkan manusia.
Dalam milis banyak orang pandai yang kalau disinggung soal kematian Yesus di kayu salib, maka banyak yang mempertanyakan sikap Allah Bapa yang jahat. Allah Bapa yang tega membiarkan AnakNya dibunuh sebagai sarana keselamatan manusia dst.
Saya tidak mau masuk dalam diskusi semacam itu.
Mendoakan orang
Saya lebih suka memahami relitas-realitas derita semacam itu, dan bertanya kepada Tuhan dalam kerendahan hati: Tuhan apa kehendak-Mu dengan semua penderitaan dan salib itu? Karena di balik semua peristiwa hidup manusia, pasti ada dalam penyelenggaraan Tuhan.
Saya belajar seperti itu kepada para Suster Biara Kontemplatif Klaris itu.
Mereka mencatat dan mendoakan dengan teliti semua orang yang meminta doa: orang sakit, orang minta pekerjaan, orang minta jodoh; orang minta kerukunan rumah tangga; orang ulang tahun, orang dalam perjalanan, orang dalam sakratul maut dan orang yang telah meninggal dunia.
Buku yang berisi doa-doa itu menyebutkan nama orangnya dan maksudnya, diberikan tanggal setiap hari dan ditanda-tangani oleh Imam yang mempersembahkan misa. Saya bersyukur bahwa nama dan tandatanganku sudah tercantum juga di buku doa itu dalam jajaran para imam Kapusin dan Praja dan Imam-imam lain yang pernah mempersembahkan misa di Biara itu.
Ibu Abdis Sr. Rosa menjelaskan kepada saya:
Pastor kami memulai hari pukul 00.00. Jadi jam 24.00 kami mulai doa yang pertama. Kemudian tidur lagi dan nanti doa lagi pukul 04.30. Dan doa sepanjang hari dari doa pagi sampai kompletorium pukul 20.30. Di sela-sela waktu itu adalah untuk kerja dan menerima tamu yang datang untuk menceritakan pengalaman hidup atau minta doa.
Saya bilang kepada Suster Abdis: Suster, apakah doanya tidak bisa dikurangi? Tidak usah doa mulai pukul 24.00 malam, nanti suster-suster sakit kasihan.
Maka, Suster Rosa pun lalu menjawab: Tidak Pastor, kami tidak sakit. Tuhan memberikan kesehatan.
Semula saya takut-takut dan gentar memasuki biara kontemplatif itu. Saya juga tidak berani melewati klausura-klausura (batas) yang tidak boleh dimasuki oleh orang luar, baik di kapel maupun di rumah biara. Tetapi karena Ibu Abdis mengizinkan, maka saya bisa memasuki dunia kontemplatif itu baik dari segi geografis maupun psikologis.
Saya diizinkan ikut duduk di “kotak-kotak” doa para suster, dan tentu saja merayakan Ekaristi di Kapelnya. Dan saya diizinkan juga memasuki pengalaman hidup para suster itu melalui sharing dan tingkah laku mereka sehari-hari. Dan saya sungguh heran bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa!
Tidak lebih dan tidak kurang.
Masyarakat Singkawang menganggap mereka bukan orang biasa. Mereka disebut “Suster Slot” (suster dalam pintu terkunci. Dan suster bisu (suster yang tidak bisa bicara atau tidak boleh bicara).
Tidak dibuat-buat
Sharing mereka sungguh nyata, realistis, manusiawi dan jujur. Mereka bersharing apa adanya seperti yang dirasakan dan dialami, dengan ekspesi-ekspresi kekaguman atau kesedihan yang tidak dibuat-buat. Mereka tidak biasa menyusun cerita, melainkan mengatakan yang terjadi.
Saya kemudian tahu bahwa dalam liturgi Ekaristi pun mereka biasa menyanyi dan menari. Doa Bapa Kami pun mereka nyanyikan sambil menari. Dan ketika saya tahu itu, maka saya minta suster menarikan doa Bapa Kami sambil menyanyi. Demikian pula persembahan roti dan anggur diiringi dengan tarian persembahan yang tulus, rileks dan indah.
Mereka ternyata adalah orang-orang yang bergembira dan ekspresif merayakan liturgi melebihi umat di luar yang mengikuti Ekaristi kaku-kaku dan takut-takut dan cenderung tegang dan membosankan.
Sebagai kesimpulan: ternyata suster biara kontemplatif itu bukan orang-orang menderita, terkekang, serius hidupnya, dan tegang karena harus menaati regula biara dengan ketat. Terlebih soal doa dan tidak bisa keluar tembok biara seumur hidup.
Sebaliknya: mereka adalah pribadi-pribadi yang gembira, bebas, ekspresif, sehat-sehat, hidup tenang dan sungguh nampak bahagia.
Ini sungguh aneh, tapi nyata. Percaya atau tidak, tetapi kenyataanya begitu.
Kredit foto ilustrasi: Biara Klaris Sikeben, Sibolangit, Medan, Sumatra Utara. (Courtesy of http://klaris-sikeben-osccap.blogspot.com/)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.