Beranda SEPUTAR VATIKAN Urbi 10 Kunci Memahami Agama Menurut Peter Berger

10 Kunci Memahami Agama Menurut Peter Berger

Interior of the Cathedral Jakarta, a Roman Catholic church in Jakarta, Indonesia

ADA banyak pandangan dan pendapat ahli sosiologi dan teologi tentang kunci memahami dan mendekati agama. Peter L. Berger, sosiolog dan teolog kelahiran Viena, Austria,1929, misalnya, pernah mengemukakan paling tidak ada 10 kunci memahami keberadaan agama dan peran utamanya.

Pendiri  The Institute on Culture, Religion & World Affairs Universitas Boston Amerika Serikat itu dikenal luas karena pandangan-pandangannya tentang realitas sosial sebagai sebuah bentuk kesadaran, termasuk di dalam realitas sosial itu adalah keberadaan agama-agama. Bagaimana Berger menganalisa keberadaan agama-agama? 10 kunci memahami agama berikut  ini merupakan rangkuman dari beberapa teori penting Berger:

  1. Agama lahir sebagai respon kolektif terhadap ancaman ketidakharmonisan dan kekacauan: bagi Berger, pencarian makna ini merupakan sebuah kebutuhan antropologis.
  2. Agama itu kompas yang memberi penjelasan seputar realitas kemanusiaan. Secara historis, agama telah menjadi kerangka suci bagi pembangunan kemanusiaan namun dapat dijadikan pula sebagai tembok pelindung dari kondisi sosial yang rentan.
  3. Agama itu abadi, tapi agama individual merupakan anak zamannya. Kebutuhan akan agama memiliki karakter universal dan asal-usulnya bersifat biologis, namun bentuk konkret di mana masyarakat yang heterogen mampu memenuhi kerinduan ini sangat bergantung pada konteks sosial. Berger memberi penekanan khusus pada aspek ini.
  4. Untuk menyelidiki agama dari perspektif sosiologis, seseorang harus mendekatinya sebagai ateis. Ateisme ini ifatnya metodologis, karena keinginan untuk memahami agama sebagai fenomena dalam kerangka pengalaman manusia, namun tidak pernah bersikap agresif atau acuh tak acuh terhadap agama.
  5. Pengalaman keagamaan itu tidak akan bertahan lama jika tidak ada insitusi keagamaan yang melestarikan dan menyebarkannnya dari generasi ke generasi.
  6. Agama-agama dicirikan oleh pembangunan sebuah tatanan suci yang menjembatani relasi manusia dengan yang transenden (Ilahi). Lebih jauh lagi, Berger menyatakan, agama menetapkan batas antara yang suci dan yang profan.
  7. Kesucian, menurut Berger, diibaratkan sebagai sebuah kekuatan misterius dan mengesankan, yang bisa dipisahkan dengan objek, tempat, atau periode tertentu. Tentu saja hal ini luar biasa, karena membawa individu berada di luar realitas sehari-hari mereka yang biasa.
  8. Ritual keagamaan membantu kita mengenang pengalaman dunia suci ini, menciptakan kembali pengalaman mistis yang asli.
  9. Proses sekularisasi dunia telah menjadi sebuah topik membuat Berger merevisi pandangannya. Pada awalnya, ia berpandangan bahwa sekularisasi dimulai pada masa Pencerahan, dan pendekatannya didasarkan terutama pada keyakinan di mana modernisasi masyarakat menyebabkan hilangnya makna agama. Setelah gagasan ini didiskusikan dan diperdebatkan dengan para ahli lainnya – mengikuti teori dan refleksi sosiolog lainnya – Berger mundur selangkah dan menyatakan bahwa tidak ada hubungan kausal langsung antara modernisasi dan sekularisasi, dan bahwa di beberapa wilayah, agama lebih hidup dari perkiraan sebelumnya.
  10. Soal pluralisme, Berger menyadari bahwa modernitas bukanlah sebab terjadinya sekularisasi; Sebaliknya, hal itu mengarah pada pluralisasi, karena berbagai sistem kepercayaan yang ada dapat hidup berdampingan dalam satu masyarakat dan dalam konteks yang sama. Fakta ini berarti bahwa agama tidak lagi menjadi elemen yang dianggap biasa oleh seseorang seperti tahun-tahun sebelumnya. Sekarang ini, agama telah menjadi salah satu aspek penting bagi kehidupan seseorang yang bisa dia pilih.

Catatan:

Naskah asli ini ditulis oleh Miriam Diez Bozch, dan dipublikasikan di Aleteia.org

Referensi:

Berger, P. (1963). Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective. New York: Doubleday.

Kredit Foto: Gereja Katedral Jakarta, Indonesia